Langit Jingga
Ibu
Cerpen Ayesha Kamila Rafifah
Rinai-rinai
hujan tersingkap
Gerimis minggir mengucap permisi
Awan-awan hitam bergerak
Berarak meninggalkan kampung
Dalam keheningan aku menatap
Sinar jingga kemerahan lembut
Menyongsong roda hidup baru
Yang bahagia, bahagia, selamanya.
Gerimis minggir mengucap permisi
Awan-awan hitam bergerak
Berarak meninggalkan kampung
Dalam keheningan aku menatap
Sinar jingga kemerahan lembut
Menyongsong roda hidup baru
Yang bahagia, bahagia, selamanya.
***
“Ibu?” Aku melongokkan kepala ke dalam bilik
dapur yang sempit. Ibu sedang sibuk mengukus kue-kuenya ketika menoleh padaku
dengan tatapan bertanya.
“Tempat pensilku yang lama sudah rusak. Bisa
tolong belikan yang baru?” Aku mengangkat tempat pensil putihku yang sudah
kecokelatan, memperlihatkan bagian resletingnya yang rusak.
Ibu tersenyum kecut. “Belum bisa, Sayang. Uang
yang kita punya habis untuk biaya sekolahmu dan adikmu. Lagipula, kemarin kan
kamu sudah dibelikan tas baru,” ujar beliau, menata beberapa kue ke tampah
—nampan besar yang biasa digunakan ibu untuk menjajakan kuenya.
“Tapi teman-teman Rieska banyak yang sering
gonta-ganti tempat pensil! Lagipula wajar dong Rieska minta dibelikan lagi
tempat pensil, yang satu ini rusak resletingnya,” balasku kesal, menunjukkan
resleting tempat pensilku.
“Nanti ya, Nak. Sekarang pakailah dulu tempat
pensil yang ini. Kalau ada uang akan langsung Ibu belikan,” kata ibu menatapku.
Aku mendesah kesal, berbalik arah, lalu masuk ke kamar tidurku dan adikku.
Namaku Rieska Alvani, dan aku punya keluarga
yang begitu miskin.
***
“Lho, masih belum diganti, Ries?” tanya Qiran,
memiringkan kepalanya menatap tempat pensilku. “Kamu belum bilang kepada
ibumu?”
“Oh, sudah kok,” jawabku buru-buru. “Katanya
besok mau dibeli. Aku sudah pesan dibelikan yang gambar Hello Kitty lho, yang
kantongnya ada dua. Keren banget, deh!” tambahku berbohong, berusaha kelihatan
ceria.
“Wah, iyakah? Nanti aku juga mau deh yang
seperti itu,” Qiran tampak berpikir. Aku tertawa kecil, buru-buru mengalihkan
topik pembicaraan sebelum Qiran membahas lebih banyak lagi.
Huh, gara-gara ibu, aku terpaksa harus
berbohong pada Qiran. Kenapa sih ibu sebegitu pelitnya sampai membelikan tempat
pensil saja tidak bisa?
Namaku Rieska Alvani, dan aku adalah sang
pemakai topeng.
***
***
Aku melangkah gontai memasuki pekarangan rumah.
Kutendang satu-dua kerikil yang menghalangi, membuat batu abu itu
terlontar-lontar kecil, lantas terjatuh di selokan kering.
“Baru pulang, Nak?” suara khas ibu menyapaku
dari pintu depan.
Aku tidak menjawab, hanya mengangguk sekadarnya
lalu masuk rumah. Kulempar tasku ke atas kursi, lalu masuk ke kamar mandi untuk
membersihkan diri.
Ketika keluar kamar mandi, kulihat ibu sedang
berdiri di teras, bersandar pada salah satu tiang rumah. Tatapannya lurus ke
atas, sama sekali tak bergerak. Aku mengikuti arah pandangannya. Langit di luar
jingga kemerahan, sinar mataharinya tidak menyengat seperti saat siang hari.
Malah sebaliknya, seperti menentramkan perasaan. Awan-awan tipis bergerak
perlahan melintasi semburat itu. Langit sesaat tidak berwarna biru, melainkan
jingga, tampak sekilas seperti emas.
Ibu terus berdiri di situ, terdiam sampai
perlahan langit menggelap, matahari tenggelam di antara tumpukan awan dan lenyap
di balik bangunan-bangunan kampung. Ibu berbalik, lalu tersenyum melihatku
sedang memperhatikan beliau.
“Indah langitnya ya?” ujar ibu, tersenyum
sekilas lantas berbelok ke kamarnya.
Aku mengernyit. Untuk apa ibu menonton langit?
Tidak berguna. Aku tidak suka hal-hal aneh. Dan aku tidak mau tahu tentang itu.
Namaku Rieska Alvani, dan aku tak suka ketika
ibu mulai menonton langit jingga kemerahan yang tak berarti
apa-apa.
***
***
“Ini lagi?” aku berdecak kesal ketika lagi-lagi
ibu menyorongkan sepiring nasi dengan tempe kepadaku. Rasanya aku sudah ribuan
kali menjumpai lauk ini.
“Iya. Akhir-akhir ini pembeli kue di pasar agak
menurun, Ries. Pesanan kue dari ibu-ibu kampung juga tidak begitu banyak,” ibu
mengusap tangannya yang basah dengan handuk. “Kalau ada rezeki, nanti Ibu
buatkan makanan yang enak,” tambahnya sembari duduk di sebelahku dan adikku,
Laira, kelas 2 SD. Memang selama ini ibulah yang bekerja menafkahi kami,
setelah ayah meninggal 3 tahun yang lalu.
“Dari kemarin jawabannya ‘kalau ada rezeki’
terus! Rieska bosan!” sanggahku.
“Rieska, bukannya kemarin Ibu sudah
membelikanmu tas baru, seperti yang kamu minta? Banyaklah berdoa, agar kita
diberi rezeki yang banyak dan Ibu bisa belikan kalian perlengkapan sekolah,
makanan yang enak, dan semua permintaan kalian,” balas ibu, mengernyitkan
alisnya.
“Rieska sudah berdoa! Sudah berdoa! Tidak
pernah dikabulkan!” bantahku, mendorong keras kursi meja makan agar aku bisa
berdiri. Aku berjalan masuk ke kamar, membanting pintu. Menangis dalam
serat-serat kain bantal yang lusuh, berharap aku bisa tertelan dalam kapas
ranjang kecil di rumah kecilku ini.
Namaku Rieska Alvani, dan aku sungguh ingin
menghilang dari dunia ini.
***
***
Sudah pukul 5 lewat. Dan ibu belum pulang juga.
Kuketukkan jemariku ke atas meja kayu tempat
kami makan bersama selama ini. Adikku duduk di depanku, menatapku penuh tanda
tanya dan khawatir. Sayangnya aku tidak mahir menenangkannya. Biasanya ibu yang
selalu menemani Laira kalau dia sedang sedih. Aku memang kakak yang payah. Ah,
lagipula, bagaimana mau menenangkannya jika aku sendiri juga dalam keadaan
kalut?
Berkali-kali aku keluar masuk rumah, mengintip
dari teras berharap melihat sosok ayunya sedang berjalan di jalan setapak
perkampungan ini. Tapi ibu tak kunjung datang.
Menjelang maghrib, aku sudah tidak bisa
menunggu lebih lama lagi. Kusuruh Laira untuk menjaga rumah, mengunci pintu dan
memakan makanan yang sudah disiapkan. Aku buru-buru melangkah keluar, mengikuti
jalan arah biasa ibu pergi ke pasar. Menelusuri setiap gang, menanyai pelanggan-pelanggan
ibu yang suka memesan kuenya.
Nihil.
Kulanjutkan pencarianku ke pasar. Ibu tidak ada
di kios. Kata ibu-ibu yang punya kios di sebelahnya, ibu sudah pulang dari
tadi. Tidak tahu ke mana. Setengah menangis putus asa, kuputari pasar itu.
Mungkin ibu sedang membeli sesuatu.
Nihil.
Kali ini aku benar-benar panik. Aku berlari
menuju arah jalan pulang, kembali menanyai setiap orang di jalanan apakah ada
yang melihat ibu-ibu membawa tampah kue. Mereka menjawab sama: tidak. Aku
mendengar sedikit nada kasihan terselip dalam nada bicara mereka. Tentu saja,
kondisiku sekarang sudah mulai menangis. Tapi jawaban dari orang-orang itu tak
cukup membantu.
Kususuri lagi jalan berbatu-batu itu. Terisak
kecil. Menatap jalanan dengan nelangsa.
Tiba-tiba sebuah sinar jingga menerpa wajahku.
Aku menoleh kaget. Memandang langit.
Langit sempurna keemasan. Antara warna jingga,
kemerahan, dan kuning berpadu indah, ditemani awan-awan putih yang melenggok
lembut di angkasa. Aku tertegun melihatnya. Larik cahaya itu menyapa wajahku,
dan seketika airmataku mengering perlahan. Sesuatu yang hangat menyentuh
hatiku, jauh di lubuk hati. Sesuatu yang nyaman.
Ini momen kesukaan ibu.
Apakah ibu —entah di mana ibu sekarang— juga
ikut menyaksikan momen ini?
Perlahan semangatku bangkit kembali. Aku harus
menemukan ibu, apa pun yang terjadi. Kembali kutanyai setiap orang yang
melintas. Selang beberapa menit, aku menemukan jawaban: seseorang melihat
beliau berjalan ke lokasi pasar malam.
Aku berlari begitu mendengar jawaban itu
—tentunya setelah berterima kasih. Berlari, tidak berhenti barang sejenak.
Berlari menuju lokasi yang disebutkan orang tadi. Di pikiranku hanya satu: ibu.
Langit menggelap. Angin malam mulai datang.
Beberapa musolla mulai melantunkan azan magrib dengan syahdu. Area kerlap-kerlip
riuh pasar malam mulai terlihat olehku. Aku tidak memelankan langkah, walaupun
ulu hatiku mulai terasa sakit.
Begitu sampai, kucari sosok itu. Kuterobos
segerombol anak-anak yang menjerit-jerit senang menunjuk komidi putar. Aku
berlari melewati sekelompok remaja yang sedang bercanda tertawa. Aku menyelip
di antara dagangan para penjual. Mataku jeli menyapu seluruh orang yang ada di
situ.
“Kue, kue! Kue, kue!”
Aku menoleh cepat. Kudapati seorang ibu-ibu
paruh baya sedang duduk di emperan trotoar, menjajakan kue di atas tampah
lebar. Suaranya makin lama makin parau. Kulihat kue di atas tampahnya. Tampah
itu masih terisi setengah. Wajah wanita itu lelah, tapi dia tak henti-hentinya
berteriak pada pengunjung yang lalu lalang.
Lututku lemas mendekati. Gentar melihatnya
berjuang. Dadaku bergemuruh, rasanya seperti dipanah berkali-kali. Bulir
kristal dengan cepat membuat pandanganku kabur. Dengan sisa energi, kuteriakkan
namanya, membuatnya menoleh dan mendekatiku.
Namaku Rieska Alvani, dan aku menemukan ibuku.
***
***
Panas. Dahinya panas. Berkeringat. Kucelupkan
lagi handuk kecil ke baskom air dingin, kuperas dengan terguncang-guncang
karena isakanku masih belum berhenti, lalu kutaruh dengan lembut di atas
dahinya.
“Rieska.”
Aku mendongak. "Ya, Bu.”
“Kamu ingat saat kamu masih kecil?” ibu
tersenyum kecil. “Ibu harus selalu menyanyikanmu lagu pengantar tidur, barulah
kamu akan tertidur. Kamu masih ingatkah lagunya?” tanya beliau, menatapku
lembut.
Aku terdiam. Aku lupa.
“Rinai-rinai hujan tersingkap
Gerimis minggir mengucap permisi,” ibu mulai
bersenandung.
Dan simpul itu bekerja. Tersambung dengan
sesuatu, sesuatu dari masa lalu. Sesuatu dari masa kecilku. Aku mengingatnya.
Setiap baitnya. Setiap momen ketika aku merengek meminta dinyanyikan lagu itu.
Setiap momen ketika kepala kecilku ikut mengangguk mengikuti irama lagunya.
Lagu sederhana, lagu yang pendek, tapi sekaligus lagu yang berarti.
“Awan-awan hitam bergerak
Berarak meninggalkan kampung,” aku mengikuti
pelan.
Ibu tersenyum, mengangguk.
“Dalam keheningan aku menatap
Sinar jingga kemerahan lembut,” aku mulai
terisak lagi. Aku sungguh merindukannya.
“Ingatkah Rieska, saat kamu masih kecil, kita
menyanyikan lagu itu bersama saat petang. Saat matahari akan terbenam. Saat
langit sempurna berwarna jingga kemerahan, momen keindahan yang memberi
ketentraman. Kamu duduk di pangkuan Ibu, ikut bersenandung mendengar iramanya.
Ibu ingin sekali bisa seperti itu lagi. Sayang, Ibu lihat sepertinya sekarang
kamu sudah tidak tertarik lagi,” ujar ibu.
Aku menggeleng. “Tidak Ibu. Maafkan Rieska.
Rieska mau seperti itu lagi. Rieska... Rieska sayang Ibu.” Aku sempurna
menangis.
“Maaf, Ibu tidak selalu bisa mencukupi segala
kebutuhan Rieska dan adik Laira. Tapi Ibu berjanji akan terus berusaha, demi
kalian.”
“Tidak, bukan Ibu, tapi kita. Aku
akan selalu membantu Ibu, mulai sekarang,” aku mempererat pelukanku pada ibu.
“Menyongsong roda hidup baru
Yang bahagia, bahagia, selamanya.” []
Cerpen “Langit Jingga Ibu” di atas adalah Juara
Ketiga Lomba Menulis Cerita untuk siswa setingkat SMP yang diselenggarakan
oleh Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI di tahun 2015. Ayesha Kamila Rafifah, lahir
di Jakarta, 3 November 2002. Siswa SMP Negeri 49, Jalan Raya Bogor, KM
20, Kramat Jati, Jakarta Timur.
Piala di Atas
Dangau
Cerpen Muhammad Isrul
Jika mengenang kembali masa laluku, aku
termasuk anak yang diberikan hidayah oleh-Nya. Aku berada dalam suka cita dan
terkadang meneteskan airmata sendiri saat merasa terharu. Ya, dulu waktu masih
duduk di bangku SD, terkadang aku ingin menjerit melengkingkan suaraku sebagi
tanda kekesalanku. Bagaimana tidak. Aku termasuk anak yang dilahirkan dari
keluarga yang cukup memadai untuk ukuran biaya sekolah, namun itu tak dapat aku
nikmati. Dan yang lebih menyakitkan hatiku, beberapa temanku hidup dengan
kondisi ekonomi pas-pasan, tapi orangtua mereka sangat mengerti tentang
pentingnya pendidikan.
“Terlanjur kita yang merasakan betapa sulitnya
hidup ini karena dahulu kita tidak bersekolah, jangan sampai anak-anak kita
kelak mengalami hal yang sama.” Demikian pernyataan yang sering kudengar dalam
pertemuan guru dan orangtua siswa di sekolah. Kalimat itu selalu dilontarkan
Pak Rahmat, kepala sekolahku di SD, untuk mengubah pola pikir masyarakat di
desaku. Tapi itulah kenyataannya, sebagian orangtua siswa hanya mendengar saja,
sesudah itu pulang ke rumah dan sibuk dengan urusan sawah, kebun, sapi, dan
berbagai mata pencaharian lainnya. Tidak ada respon. Salah seorang di antara
mereka adalah ayahku. Baginya, ungkapan itu bagai angin yang berlalu saja.
Jujur kuakui, tak pantas aku menceritakan semua
ini. Tapi aku ceritakan juga sebagai luapan rasa gembiraku karena aku mampu
keluar dari kemelut saat itu. Kini aku sudah duduk di bangku kelas 8 di salah
satu sekolah favorit di kotaku. Sebuah impian yang selalu terhalang karena adat
dan tradisi desaku. Boleh jadi, apa yang kualami ini juga dialami oleh
anak-anak seusiaku di tempat lain.
O iya. Namaku Isrul. Aku lahir dan tinggal di
pelosok desa. Berhubung desaku terpencil dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan,
maka tradisi dan adat-istiadatnya masih sangat kental. Tapi yang namanya
pendidikan, hampir semua orang tua di desakau tidak pernah merasakan duduk di
bangku sekolah, termasuk ayah dan ibuku.
“Dulu tidak ada sekolah di desa ini.” Itulah
jawaban ayahku ketika aku menanyakan perihal sekolah.
Sebenarnya aku tidak puas dengan jawaban itu.
Dalam benakku, terlintas pikiran bahwa di kota kecamatan pasti ada sekolah.
Tapi kalau pernyataan itu kuajukan, maka sudah pasti mata ayahku melotot sambil
berkata, “Matempo to anana’, ye. Sudah, jangan banyak bicara,
tahu apa kau tempo dulu.” Ungkapan ini memang sudah tersimpan di otak hampir
seluruh orangtua di desaku. Jika mendengar kata matempo, anak-anak
terpaksa bungkam. Sudah menjadi tradisi di desaku, bahwa semua perkataan
orangtua sifatnya mutlak. Menentang orangtua adalah tabu. Anak yang menentang
orangtua bahkan dinggap kurang ajar. Jika ayahku sudah menetapkan keputusannya,
maka ibu menurut pula. Merah kata ayahku, merah pula kata ibuku. Lagi-lagi
dalam tradisi desaku, isteri wajib menuruti kata dan kemauan suami. Isteri
adalah makmun yang wajib mengamini imam selesai melantunkan Surah Al-Fatihah.
Meski sekarang kondisi desaku sudah mulai
berkembang, namun pola pikir ayahku masih belum berubah. Urusan pendidikan
belum diutamakan. Inilah yang mengganjal pikiranku saat aku menyampaikan niatku
untuk melanjutkan pendidikan di kota.
“Sudahlah, Nak. Turuti saja kata ayahmu,”
demikian kata ibu.
“Bu, saya mau sekolah di kota,” kataku mengiba.
“Untuk apa kau sekolah di kota? Di desa sebelah
kan sudah ada SMP.”
Sudah kuduga bahwa ibuku pasti berpihak kepada
ayahku. Apalagi ibuku tahu bahwa di desa sebelah sudah ada SMP Satap. Sekolah
ini menggunakan gedung SD sebagai tempat belajar.
“SMP di sini tidak sama dengan SMP di kota,
Bu.”
“Ah kau itu, ada-ada saja jawabanmu, di kota
namanya SMP, di sini juga namanya SMP. Apanya yang tidak sama?”
“Namanya memang sama, Bu. Tapi cara belajarnya
tidak sama.”
“Memangnya di kota belajar apa?”
“Anu, Bu.”
“Ah, sudah. Itu sapi belum minum, lebih baik
kau ambil ember lalu ambil air dari sumur. Sebentar lagi ayahmu pulang. Ia akan
marah jika tahu sapi itu belum kau berikan air,” itulah jawaban pamungkas ibu.
Meskipun aku kesal dengan sikap ibu, itu
kulakukan juga. Pernah suatu ketika aku meluapkan kekesalan dengan menyumpahi
sapi-sapi itu. Waktu itu, sempat kulirik raut muka ibuku tampak kecewa dengan
sikapku.
Namun ibu masih memberikan jawaban halus.
“Kalau sapi itu kaupelihara dengan baik lalu dijual, uangnya untuk kau juga,”
kata ibu.
Kalau jawaban seperti itu sudah keluar dari
mulut ibu, maka sudah pasti tidak ada toleransi lagi. Kecuali kalau aku mau
dikatakan anak matempo.
Itulah sepenggal kisahku yang nyaris
menggagalkan aku melanjutkan sekolah di kota.
***
***
Peringatan Hardiknas merupakan awal penyebab
terbukanya pintu hati ayahku untuk merespon keinginanku bersekolah di kota.
Saat itu dilaksanakan berbagai kegiatan. Salah satunya adalah pemilihan siswa
berprestasi tingkat kecamatan. Semua sekolah diisyaratkan mengutus perwakilan
untuk berlomba. Dari sekolahku, aku yang diutus. Seleksi siswa berprestasi
dimulai dari tes pengetahuan, meliputi matematika, bahasa Indonesia, IPA, dan
IPS. Tes selanjutnya adalah hasta karya.
Menjelang lomba, Bu Sahida, guru kelasku,
memberiku bimbingan. Bahkan aku diminta untuk datang ke sekolah sore hari. Ya,
seperti yang kukisahkan pada awal cerita ini, tidak semudah itu untuk minta
izin ke sekolah mengikuti kegiatan sore. Setiap hari, sepulang sekolah aku
menghabiskan waktu di sawah atau di kebun membantu orangtuaku. Tak pelak lagi,
jika waktu panen kadang orangtuaku tak peduli dengan kegiatan sekolah.
“Rul, nanti ikut ke sawah, ya!”
“Tapi, Yah, sore ini aku mau ke sekolah.”
“Ke sekolah, untuk apa? Ini kan sudah sore.”
“Mau belajar sore, Yah.”
“Apa tidak cukup waktu belajarmu pagi sampai
siang?”
“Kata guruku aku akan diutus mengikuti lomba
siswa berprestasi. Aku mendapat tambahan belajar di sore hari.”
“Ah, ada-ada saja alasan kau. Sudah, jangan
banyak bicara, ikut ke sawah.”
“Tapi, Yah….”
“E…. gurumu itu orang desa ini juga. Pasti tahu
bahwa saat ini musim maddongi. Besok kau menghadap, sampaikan bahwa kau
membantu Ayah di sawah. Nah, pasti gurumu mengerti mengapa kamu tidak ke
sekolah.”
Aku terpana. Jawaban ayah benar-benar membuatku
hampir menangis histeris. Bagaimana tidak. Lomba semakin dekat, sementara masih
banyak materi yang belum aku paham. Terbayang aku akan hancur dan tidak bisa
bersaing dengan siswa sekolah lain. Ingin rasanya aku berteriak agar ayahku
tahu bagaimana kacaunya pikiranku. Namun aku sadar bahwa ini adalah perbuatan
yang tidak akan menyelesaikan masalah. Malah akan semakin membuat ayahku geram.
Otakku terus berpikir untuk mencari solusi terbaik. Sambil berjalan mengikuti
ayah dari belakang, aku mulai menyusun strategi. ”Bagaimana kalau aku ke rumah iyye’-ku,
menyampaikan masalahku ini. Ya, hanya dia yang mampu menunddukkan ayah.”
Esok harinya, sepulang sekolah aku tidak
langsung pulang ke rumah. Kuayunkan sepedaku menuju rumah iyye’-ku.
“Rul, kenapa kamu lesu,” tanyanya.
“Anu, Iyye’, mungkin nanti aku tidak
dapat rangking.”
Mendengar kata rangking, sudah pasti iyye’-ku
akan merespon perkataanku. Sebenarnya, yang mau kuajukan adalah masalah lomba.
Tapi apa boleh buat, terpaksa itu yang kukatakan karena iyye’-ku tidak
paham siswa berprestasi. Iyye’-ku cuma tahu istilah rangking. Dalam
pikirannya rangking itu berarti pintar.
“Wah, kenapa kamu tidak bisa rangking?”
“Karena akhir-akhir ini ayah sering ajak Isrul
ke sawah. Jadi, banyak pelajaran yang Isrul tidak ketahui.”
“Ya sudah, tidak usah sedih. Nanti kusampaikan
pada ayahmu. Kau ke dalam, makan dulu lalu pulang.”
Benar juga. Malam harinya iyye’-ku
datang menemui ayah. Aku pura-pura tidur dan mulai memasang telinga untuk
menyimak pembicaraan mereka. Kudengar suara ayahku membalas salam sambil menuju
pintu.
“Poleki mabbere jama’ Etta,” kudengar
suara bapak menyapa iyye’-ku.
“Iya, sekalian ketemu Pak Dusun.”
“Ada apa dengan Pak Dusun.”
“Itu, persiapan tudang sipulung.”
Agaknya pembicaraan iyye’ dengan ayah
belum mengarah ke pokok persoalanku. Aku mulai kesal campur gelisah. ”Ah,
mengapa iyye’ belum juga membicarakan perihal sekolahku,” keluhku dalam
hati. Kegelisahanku bertambah saat ibuku keluar dari bilik dapur dan bergabung
dalam pembicaraan iyye’ dan bapak. Malah pembicaraan mereka bertiga
justru semakin jauh dari apa yang kutunggu. Aku mencoba berpikir bagaimana
memancing perhatian mereka agar pembicaaan mereka berpindah ke masalahku.
Kurebahkan pelan-pelan kepalaku, lalu pura-pura menggeliat sambil mengeluarkan
suara geliat: “Akhhh….”
“Isrul, Tetta.... Dari tadi tertidur,
mungkin capek dari sawah,” kata ayah.
Siasatku berhasil. Ingin rasanya aku melompat
kegirangan. Pelan-pelan aku bangkit. Tiba-tiba aku mendengar iyye’ mulai
menyampaikan kepada ayah perihal masalahku. Kumaksimalkan pendengaranku. Ya,
Allah, berikanlah rahmat-Mu pada hamba-Mu ini,” doaku dalam hati. Dari bilik
kamar aku mendengar iyye’ mulai menyampaikan apa yang kukeluhkan.
“Jangan terlalu memaksa anakmu bekerja. Dia kan
masih anak-anak, lagi pula dia bersekolah.” Demikian nasihat iyye’
kepada ayah.
“Bukan memaksa, Tetta. Saya hanya
mengajarkan untuk pembiasaan tidak malas, seperti halnya Tetta yang
selalu mengajarkan saya dulu,” kata ayah.
“Iya, tindakanmu itu tidak salah, tapi masa
saat kau masih anak-anak sudah tidak sama dengan masa anak-anak sekarang.”
Lanjutan percakapan antara iyye’ dan
ayahku sudah tidak kuingat lagi. Yang kuingat bahwa iyye’-ku gagal
meyakinkan ayahku. Aku memenangis tanpa suara, takut ketahuan. Bantalku basah
oleh linangan airmataku.
Esok harinya, aku menghadap Bu Sahida,
menyampaikan bahwa aku tidak bisa ke sekolah sore hari. Alhamdullilah, Bu
Sahida cukup bijaksana. Dia memberiku bahan lomba untuk dipelajari di rumah.
Semua bahan tersebut aku bawa ke sawah. Aku
membantu ayah di sawah. Tugasku adalah duduk di dangau mengusir sekawanan
burung pipit yang hinggap di batang padi. Ya, itulah salah satu bagian
pekerjaan petani di desaku. Saat padi mulai menguning, petani sudah disibukkan
dengan kegiatan ini. Benar memang, sebab jika tidak maka petani akan terancam
gagal panen karena buah padinya dimakan burung pipit.
Beruntung, karena tugasku kali ini adalah maddongi
saja, sementara ayahku keliling dari petak satu ke petak lain menyiangi padi.
Di atas dangau, sambil menjalankan tugas dari ayahku, kubuka bahan lomba yang
diberikan guruku. Kadang-kadang pikiranku terpusat pada bacaaanku, sehingga
perhatianku luput akan burung-burung yang lahap memakan butir padi. Aku baru
sadar saat ayahku berteriak dari pematang sawah. Cepat-cepat tanganku meraih
tali yang terpasang di tiang dangau.
“Heyaaa….” Aku berteriak lengking sambil
menarik tali kelentang. Terdengar bunyi dari kelentang satu ke kelentang lain
bertalu-talu. Kawanan burung pipit itu pun beterbangan. Hal itu kulakukan pada
empat tali yang masing-masing mengarah ke empat arah. Setiap tali kutarik
berkali-kali membuat lenganku terasa pegal dan suaraku hampir parau. Tapi semua
itu kulakukan demi mewujudkan mimpi-mimpiku. Ya, menjadi juara.
Merasa bahan yang diberika Bu Sahida cukup aku
kuasai, perhatianku kualihkan pada hasta karya. Aku berpikir keras hasta karya
apa yang akan kupresentasikan pada lomba nanti. Meminta uang untuk membeli
bahan tidak mungkin. Selain kendala ayahku, jarak ke kota untuk membelinya pun
sangat jauh. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada tellang yang tumbuh
subur di pesisir saluran air menuju ke sawah. Kutebang beberapa batang dan
kukeringkan dekat dangau.
“Untuk apa itu, Rul,” tanya ayah saat melintas
dekat batang tellang yang kukeringkan.
Otakku secepatnya berspekulasi, ”Mau buat
sangkar burung, Yah.”
“Di rumah kan sudah ada kau punya,” kata ayah.
“Mau buat model baru, Yah. “Yang di rumah,
modelnya sudah banyak yang sama yang dimiliki teman-temanku.”
“Ya sudah, buat saja. Tapi ingat jangan sampai
kau lupa tarik kelentang itu,” jawab ayah.
Kali ini aku mendapat jawaban yang menyengkan
dari ayah. Ya, orang-orang tua di desaku memang sudah mengerti akan kegemaran
anak-anak membuat sangkar burung jika musim maddongi tiba. Anak-anak di
desaku ramai-ramai membuat sangkar burung yang megah. Aneka model sangkar
burung miniatur rumah tergantung di teras rumah. Anak-anak yang belum mampu
membuat sangkar, akan merengek kepada orang tuanya agar dibuatkan. Kami
biasanya membuat dua sangkar. Satu sangkar jebakan dan satu lagi sangkar
piaraan. Sangkar jebakan kami pasang di atas pohon yang tumbuh di sekitar
pematang sawah. Jika burung pipit sudah masuk dan terjebak, lalu kami pindahkan
ke sangkar piaraan.
Sengaja kuceritakan sedikit kebiasan musiman
tersebut di desaku, untuk menjelaskan bahwa kalau aku menyatakan pada ayahku
mau membuat hasta karya untuk lomba, maka sudah pasti jawabannya “jama-jamang
de’ gaga wassele’na” (“pekerjaan tak berhasil guna”). Tapi jika aku
menyampaikan sangkar burung, ia akan menurut.
Tibalah saatnya aku berlomba, aku diantar oleh
Pak Rahmat, kepala sekolahku, dan Bu Sahida, guru kelasku. Bu Sahida menenteng
hasta karyaku yang sebelumnya sudah dikemas dengan menggunakan bekas kardus
indomie. Dalam perjalanan tak henti-hentinya kedua guruku itu memberikan
motivasi dan semangat. Bahkan berjanji, jika aku juara, mereka akan membantuku
meyakinkan ayahku agar aku bisa lanjut sekolah di kota.
Seperti dugaanku, bahwa aku pasti akan
menemukan persaingan yang lebih ketat dibanding dengan di sekolahku. Aku bertemu
dengan siswa jempolan dari berbagai sekolah di wilayah kecamatan. Aku bertemu
dengan siswa perempuan yang penampilannya sudah menunjukkan kepintarannya.
Namanya Anisah. Kacamatanya tebal; badannya agak kurus, sepertinya lebih senang
belajar daripada makan dan mungkin kurang tidur saking seringnya belajar. Aku
juga bertemu dengan Munawar, seorang laki-laki dengan penampilan cuek. Dari
seragam sekolah yang dia pakai, aku menebak bahwa ia dari salah satu sekolah
yang berdomisili di ibukota kecamatan. Sejak datang ia hanya duduk. Matanya
melolot ke buku yang dipegangnya. Keseriusannya belajar seperti kobaran api
yang takkan padam oleh siraman air.
Selain nama yang kusebutkan di atas, aku juga
mengenal Anwar. Orangnya mudah dikenal karena humoris dan suka bertingkah lucu.
Karena humorisnya itu, sekejap ia mejadi populer. Pertemuanku dengannya bermula
saat salah seorang guru menanyakan cita-cita Anwar.
“Apa cita-citamu?” tanya guru tersebut.
“Mau jadi astronot dan menginjakkan kaki di
matahari,” jawab Anwar.
“Wah tidak mungkin, kau akan terbakar,” kata
sang guru.
“Saya akan naik ke matahari pada malam hari,”
jawab Anwar.
Jawaban Anwar sontak membuat orang di
sekitarnya tertawa tekekeh. Saat kutanyakan tentang sikap Anwar pada Bu Sahida,
ia mengatakan bahwa kadang-kadang memang ada anak yang pintar karena
kepribadian humorisnya.
Aku tidak sempat lagi mengenal lebih jauh satu
persatu teman pesaingku, karena tiba-tiba lonceng berbunyi tanda dimulainya tes
tertulis. Aku pamit pada Pak Rahmat dan Bu Sahida. Sebelum masuk ruangan, Bu
Sahida menepuk-nepuk pundakku sementara Pak Rahmat mengelus-elus kepalaku.
Sebuah perlakuan yang membuatku tegar bersemangat. Terasa sekali, seakan ada
dorongan untuk berjanji bahwa aku tidak akan mengecewakan mereka. Kuraih soal
yang ada di depanku, lalu kutundukkan kepalaku sambil berdoa dalam hati.
Waktu 150 menit berlalu tepat saat bel tanda
ujian tulis berakhir. Panitia lalu menghampiri kami, mengumpulkan lembar soal
dan jawaban satu per satu. Kuserahkan lembar soal dan jawabanku dengan tangan
gemetar. Panitia yang menerima pun tersenyum melihat tingkahku itu. Pandanganku
kuarahkan ke pintu ruangan, terlihat guru-guru pendamping berdesakan, seakan
tak sabar ingin menjemput siswa masing-masing.
Aku keluar dari ruangan. Seperti guru lain, Bu
Sahida pun menjemputku dengan pertanyaan, “Bagaimana pekerjaanmu, Rul.”
Aku menghela nafas panjang. ”Cukup sulit, tapi
kujawab semua, Bu.”
“Ya, mudah-mudahan banyak jawabanmu benar.”
Aku tak mampu menatap lama raut wajah guruku
itu. Terlihat olehku raut muka yang cemas-cemas berharap. Batinku mampu membaca
betapa malu dan kecewanya guruku itu jika aku berada di peringkat terakhir.
Sejam kemudian, hasil ujian diumumkan. Dari
balik kaca jendela, panitia hanya menempelkan peringkat 1 sampai 10. Betapa girangnya
Bu Sahida saat mengetahui bahwa namaku berada di urutan ke-2 dari 10 peserta
terbaik. Bu Sahida memeluk erat tubuhku. Tak ketinggalan tangan Pak Rahmat
kembali mengusap kepalaku. Ketika kutanyakan siapa yang urutan pertama, Pak
Rahmat menyebut nama si pemilik kacamata tebal.
Kami dikumpulkan kembali untuk mengikuti tahap
seleksi berikutnya. Kali ini setiap peserta tampil mempresentasikan hasta
karyanya. Bu Sahida, menyodorkan hasta karyaku.
“Kamu punya kesempatan juara satu, Rul.”
Lagi-lagi Bu Sahida memberiku semangat. ”Jangan gugup saat berbicara, tetap
tenang,” lanjutnya.
“Iya, Bu,” jawabku.
Saat yang mendebarkan tiba. Setelah diundi,
urutan pertama yang tampil adalah Anisah, Si Kacamata Tebal, di susul Si
Humoris, Anwar. Semetara, aku urutan ketiga. Anisah menampilkan bunga yang
terbuat dari pipet minuman, sementara Anwar menampilkan miniatur rumah bersusun
yang terbuat dari spons gabus. Melihat karya kedua temanku itu, aku merasa
sedikit minder. Betapa tidak, karya kedua temanku itu begitu mempesona. Namun,
terbayang wajah kedua guruku yang sangat berharap pada diriku. Itu membuat aku
berusaha untuk membangun kembali nyaliku yang hampir runtuh. Saat giliranku
tiba, kukeluarkan karyaku dari kardus. Sesuai dengan arahan panitia, kujelaskan
sekilas tentang karyaku itu. Termasuk ketika panitia bertanya tentang alat dan
bahan, cara membuat, dan fungsinya. Semua itu aku lalui dengan lancar, karena
memang pada dasarnya aku sudah terbiasa mencari bahan dan membuat jebakan
burung pipit yang berminiatur rumah.
Satu per satu peserta tampil di depan
mempresentasikan hasil karyanya.
Selesai waktu presentasi, kami pun kembali
menunggu hasil keputusan panitia. Inilah penantian yang paling mendebarkan.
Panitia akan mengakumulasi nilai ujian tertulis dan nilai hasta karya dan dari
akumulasi itu, panitia menetapkan juara satu sampai tiga. Peserta yang berhasil
meraih peringkat pertama akan mewakili kecamatan ke tingkat kabupaten. Aku
duduk di samping Bu Sahida. Tak hentinya-hentinya batinku berdoa, memohon
kepada Tuhan semoga dapat juara. Kulirik Bu Sahida, tampak tenang dan
tersenyum. Namun hati kecilku menyatakan bahwa di balik senyumnya itu,
berkecamuk rasa cemas dan harap.
Seorang yang mengenakan stelan jas dan dasi,
keluar dari ruangan disusul beberapa panitia. Dari keterangan Bu Sahida, kutahu
bahwa beliau adalah Kepala UPTD Pendidikan di kecamatanku. Betapa girang dan
bahagianya kami bertiga. Saat Kepala UPTD menyebut namaku sebagai peringkat
pertama. Aku lalu menangis, saat Bu Sahida memelukku sambil meneteskan airmata
bahagianya. Lag-lagi usapan lembut Pak Rahmat kurasakan di kepalaku. Sebuah
piala dan selembar piagam serta buku-buku bacaan kuterima.
Saat tiba di rumah, aku berlari menemui ibuku
dan menceritakan bahwa aku juara satu. Mulanya ia tidak percaya, tapi melihat
piala dan piagam yang kupegang, ibuku menangis dan memelukku. ”Ayahmu akan
bangga, Rul,” kata ibu saat melepas pelukannya. Aku pamit sama ibu, untuk
menemui ayahku yang masih berada di sawah. Aku berlari menelusuri pematang
sawah sambil memeluk erat pialaku.
“Ayaaaah… aku juara satu,” teriakku saat tiba
di dekat dangau.
Dari atas dangau, ayahku menjulurkan tangannya
meminta piala yang masih kudekap. Aku lalu bercerita panjang tentang bagaimana
perjuanganku saat lomba, termasuk menceritakan bahwa aku akan berlomba kembali
di tingkat kabupaten. Mata ayahku tak berkedip memandang piala itu. Ia lalu
menarik nafas`panjang dan menatapku.
“Rul, kau betul-betul mau sekolah di kota.”
“Iya, Ayah. Mau sekali,” jawabku spontan.
“Kalau kau dapat juara di kabupaten, aku
izinkan.”
Betapa gembiranya aku mendengar penyataan
ayahku. Aku lalu meluapkan kegembiraanku menarik tali kelentang.
“Heyaaaaaa… aku akan melanjutkan sekolah….”
“Heyaaaaaa… sekolah di kota….”
“Heyaaaaaa…. Heyaaaaaa….”
Kulihat ayahku tersenyum geli melihat
tingkahku. Sarung yang melilit di pundaknya dilepaskannya, lalu salah satu
ujungya digantungkan di dangau sehingga meneyerupai ayunan bayi. Diambilnya
pialaku itu, diusap dan disimpan dalam ayunan sarung tersebut. ”Nanti jatuh dan
pecah,” katanya.
“Heyaaaaa… ayahku memang hebat….”
“Heyaaaaa… terima kasih, Ayah….”
Tak henti-hentinya aku berteriak dan menarik
tali kelentang, sampai ayah menegurku.
“Rul, kalau kau terus begitu, dangau ini bisa
roboh,” kata ayah.
Inilah berkah luar biasa dan menjadi kejutan
bagiku sepulang lomba di kecamatan. Aku lalu menjadi selebriti di desaku. Sejak
itulah aku semakin giat belajar, memperbaiki prestasiku. Aku belajar
sungguh-sungguh untuk mencapai mimpiku. Pulang sekolah, kuisi tasku dengan
buku, lalu menuju sawah. Di atas dangau aku mengasah pengetahuanku dengan
membaca.
Di kabupaten, meski aku kalah bersaing untuk
meraih peringkat pertama, aku masih berhasil meraih peringkat ketiga. Kembali
piala kabupaten kularikan ke dangau. Ayahku tambah yakin akan kemampuanku.
Sedikit demi sedikit aku memperbaiki prestasiku. Alhamdulillah berkat usaha itu
aku mendapat peringkat satu dikelasku sampai aku tamat di SD dengan predikat
terbaik.
“Hebat kamu ya, Rul. Kamu anak yang tidak mudah
menyerah,” kata Pak Rahmat.
“Terimakasih.
Itu semua berkat dukungan Bapak,” jawabku.
***
Menjadi siswa di sekolah favorit adalah
kebangaan tersendiri. Kebanggaan itu muncul dari rasa kepuasan atas hasil
proses panjang yang di dalamnya melibatkan kerja keras, kesabaran,
kedisiplinan, dan mental yang pantang menyerah. Resmi menjadi siswa di sekolah
favorit, aku semakin giat belajar. Besyukur pada Allah Swt., aku mampu meraih
peringkat 1 di kelasku. Saat kenaikan tingkat ke kelas 8, diumumkan peringkat
10 besar. Namaku menempati urutan pertama. Di kelas 8, aku mulai bergabung di
organisasi kesiswaan yang dibina oleh sekolahku. Aku memilih organisasi Sanggar
Seni Sastra dan Karya Ilmiah Remaja. Sekali dalam seminggu, aku dijemput ayah,
pulang ke desaku untuk melepas kerinduan ibuku. Kata ayah, jika hari Sabtu,
ibuku selalu mengingatkan ayah untuk menjemputku. []
Catatan
Anana’
: anak-anak
Iyye’ : sapaan kepada kakek
Mabbere jama : solat berjamaah
Maddongi : mengusir burung (saat buah padi mulai menguning)
Matempo : pembicaraan/perlakuan tanpa kesepakatan orangtua (lancang)
Pole’ki : dari…
Etta / Tetta : sapaan untuk orangtua (Ayah)
Iyye’ : sapaan kepada kakek
Mabbere jama : solat berjamaah
Maddongi : mengusir burung (saat buah padi mulai menguning)
Matempo : pembicaraan/perlakuan tanpa kesepakatan orangtua (lancang)
Pole’ki : dari…
Etta / Tetta : sapaan untuk orangtua (Ayah)
Cerpen “Piala di Atas Dangau” di atas adalah Juara
1 Lomba Menulis Cerita untuk siswa setingkat SMP yang diselenggarakan oleh
Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI di tahun 2015.
Muhammad Isrul, lahir di
Tingaraposi, Kabupaten Wajo, 28 Januari 2002. Siswa SMP Negeri 4 Tanasitolo,
Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Betapa Hebatnya Dia
(cerpen anak pemenang 1 LMCA 2013)
Oleh: Intan Nurhaliza
Sungguh aku tidak membenci Jihan, adikku
satu-satunya. Dari hatiku yang terdalam, sesungguhnya aku sangat mengasihinya.
Namun, entah mengapa hingga saat ini aku belum bisa menerima Jihan yang
terlahir sebagai adik kandungku.
Jihan terlahir sedikit berbeda dengan anak-anak
normal lainnya. Dengan kata lain, ia mempunyai ‘dunianya sendiri’. Nada
bicaranya sedikit lambat. Cara kerja otaknya dalam berpikir pun berbeda dengan
teman-teman seusianya. Dilihat dari fisiknya, posisi kepala Jihan sedikit
miring ke kanan, tidak tegak. Terkadang air liur sesekali jatuh dari mulutnya.
Hal inilah yang membuatku belum bisa menerima kehadirannya sejak ia lahir dari
rahim Mama.
“Jihan anak yang hebat. Mama bangga padanya,”
begitu kata Mama, ketika aku membandingkan Jihan dengan adik Nisa, Riri. Jujur,
sampai saat ini aku masih suka membanding-bandingkan Jihan dengan anak normal
lainnya, termasuk Riri. Bagaimana tidak, Riri, teman akrab Jihan itu, jauh
lebih aktif daripada Jihan. Riri juga mempunyai kegemaran yang sama denganku.
Ia senang melukis. Lukisannya bagus untuk anak seusianya.
“Bangga? Apa yang bisa Mama banggakan dari
Jihan, Ma? Dia itu berbeda dengan Riri. Dia berbeda dengan anak-anak normal
lainnya. Dia itu enggak…” Mama memotong pembicaraanku. Ditadahkannya
jari telunjuknya di bibirku. “Ssst.... Jangan keras-keras bicaranya, tidak enak
kalau Jihan mendengarnya.”
Sampai saat ini, aku belum bisa melupakan
kata-kataku itu. Setelah kupikir-pikir, aku bukanlah kakak yang baik untuk
Jihan. Bagaimana tidak, ucapan dari mulutku itu telah menyakiti hati Jihan.
Baru kutahu akhir-akhir ini, ternyata Jihan mendengar pembicaraan kami saat
itu. Setelah kejadian itu, Jihan lebih sering mengharapkan perhatianku.
Menurutku, Jihan ingin menunjukkan kepadaku betapa hebatnya dia. Namun, tetap
saja, ia adalah anak yang berbeda.
Tak jarang aku mencacinya di belakang Mama.
Hampir setiap hari aku selalu marah pada Jihan. Betapa menjengkelkannya dia.
Pernah aku mengurungnya di kamar ketika Mama pergi. Hari itu, perilaku Jihan
sangat menyebalkan. Ia mengganggu minggu pagiku yang cerah dengan semua
kelakuannya yang aneh. Jihan menawarkanku segelas sirup buatannya. Aku
mengangguk saja. Lagipula, aku tengah asyik dengan acara film hari ini.
Kubiarkan Jihan membuat sirup sendiri di dapur. Tak lama, Jihan datang dengan
dua gelas sirup yang ia janjikan. Namun, bukan segelas sirup segar yang
kudapat, melainkan pecahan gelas kaca. Ya, Jihan membawa nampan gelas sirup itu
tidak hati-hati. Alhasil, aku harus membersihkan pecahan gelas itu dan mengepel
rumah hingga bersih. Menyebalkan.
Suatu hari, aku baru saja pulang dari sekolah.
Dengan tubuhku yang lemas, aku mengetuk pintu rumah. Seperti biasa, Jihan
membukakan pintu, dan menyambutku dengan teramat manis. “Eh, kakak.. sudah
pulang..” bicaranya lambat sekali. Aku membalasnya dengan senyum simpulku.
Kemudian, berlalu dari hadapan Jihan.
“Kakak, tunggu…” Lagi-lagi Jihan memanggilku.
Aku menarik napas sejenak. Aku berbalik. Menatap Jihan yang tersenyum manis.
“Ada apa lagi?”
Jihan tidak menjawab, tetapi tersenyum-senyum
kepadaku. Sembari memainkan jari-jarinya, ia memandangku dengan malu-malu.
“Kak, Jihan mau diajarin melukis, dong.”
Uh! Hari ini saja aku sudah sangat sibuk di
sekolah. Tugas sekolahku minggu lalu menumpuk. Aku belum sempat mengerjakannya,
karena minggu lalu aku harus menemani Jihan bermain di rumah Nenek. Ini
permintaan Mama, kalau saja bukan Mama yang menyuruhku menemani Jihan di rumah
Nenek, aku tidak akan mau menemaninya. Lagipula, aku harus berlatih piano,
karena dua minggu lagi sekolah akan mengadakan pentas tahunan. Belum lagi, les
melukis yang menambah padat jadwalku.
“Tidak bisa, Jihan. Kakak harus menyelasaikan
tugas sekolah. Dan, minggu depan, Kakak sudah mulai ujian. Kakak harus belajar
dari sekarang,” aku berusaha sabar menanggapi adikku ini. Kulihat raut wajah
Jihan yang murung. Dia menunduk mendengar jawabanku. Tak sampai hati aku
melihatnya, namun bagaimana lagi, aku benar-benar harus mengerjakan tugasku.
“Minta diajarin Mama saja ya,” Aku mengelus rambut Jihan. Ia tidak
menjawab apa-apa dan meninggalkanku begitu saja.
Jadwalku yang padat, memang membuat waktuku
dengan Jihan berkurang. Kata Mama, Jihan kesepian. Ia senang jika aku
menemaninya walau hanya sebentar. Namun, tetap saja aku memiliki aktivitas
sendiri. Aku memang sering mengabaikannya. Aku bukanlah kakak yang baik untuk
Jihan. “Setelah Kakak ujian, Kakak akan menyediakan waktu untukmu, Jihan,” aku
bergumam sambil mengambil buku tugasku di meja belajar.
Aku masih larut dalam tumpukan buku
pelajaranku. Samar-samar kulihat Jihan datang menghampiriku. Tampaknya ia
membawa hasil lukisannya. “Kakak, lihat nih, Jihan juga bisa melukis, lho,”
Jihan bersemangat sekali. Ia berlari-lari menghampiriku. Dan, yang terjadi
setelah itu…. Brak! Lukisan Jihan jatuh tepat di buku yang sedang kupelajari.
Lukisan itu benar-benar baru diselesaikannya. Ah, benar-benar menjengkelkan!
“Jihan! Sudah Kakak bilang, jangan ganggu
Kakak! Lihat! Apa yang kamu lakukan? Kamu tidak mengerti? Kakak bilang, Kakak
mau belajar, jangan diganggu!” Aku marah, karena tulisan di bukuku hampir tidak
terbaca. Tumpahan cat warna memenuhi buku itu. “Dasar anak enggak… ah….”
Sejak saat itu, Jihan tidak pernah menggangguku
lagi. Ia banyak menghabiskan waktunya di kamar. Entah apa yang dia lakukan di
kamar. “Cinta, coba kamu ajak adikmu keluar dari kamar. Sejak kamu berangkat
sekolah, ia mengabiskan waktunya di kamar. Mama ajak keluar enggak mau,
coba kamu rayu,” Mama menasihati sambil duduk di ranjangku. Aku menanggapinya
acuh tak acuh. Ah, Jihan, Jihan dan Jihan…, batinku kesal. Terkadang aku
merasa Mama terlalu banyak menaruh perhatian pada Jihan, sehingga waktuku
bersama Mama terbuang untuk Jihan.
“Sudahlah, Ma. Paling Jihan sedang tertidur,
atau dia asyik dengan hal-hal konyolnya. Dia kan anak yang berbeda, enggak…,”
Mama menatapku tajam, memotong pembicaraanku. Sepertinya ada yang salah dari
perkataanku tadi. “Berhenti, Cinta! Berhenti mengolok-olok adikmu. Berhenti
mengungkit-ungkit kekurangannya. Jihan selalu berniat menolongmu, tapi dengan
keterbatasannya, kamu harus mengerti. Ingatlah, berapa kali kamu menyakiti hati
lembutnya,” Mama meninggalkan aku sendiri di kamar. Ah, tetap saja perkataan
Mama tidak membuat rasa jengkelku pada Jihan, terhapuskan.
Tok.. Tok.. Tok.. Seseorang
mengetuk pintu kamarku. Kudengar langkah kakinya menapaki lantai. Segera kubuka
pintu kamarku. Tidak enak jika aku tidak membukanya, apalagi kalau yang
mengetuk itu Papa atau pun Mama. Ceklek! Bukan sosok manusia yang
kutemui, melainkan sebuah surat di depan pintu kamar. Aku meraih surat itu.
Kubuka dengan perlahan.
Untuk Kak Cinta tersayang
Kak, Maafkan Jihan ya. Jihan salah karena sudah
merusak buku kakak. Jihan tau, kakak marah. Di mata kakak, Jihan
selalu salah. Tapi, memang Jihan anak yang membawa sial. Anak yang enggak normal,
seperti kata kakak. Kak, sekali lagi maafin Jihan ya. Sebagai permintaan
maaf, Jihan mau kakak datang ke taman. Jihan mau tunjukin sesuatu. Jihan
tunggu kakak sampai datang ke taman.
Salam manis,
Adik Kak Cinta yang menyebalkan
Entah mengapa hatiku tidak luluh membacanya.
Sepucuk surat itu tidak sukses membuatku ingin menemuinya. “Ah, malas sekali
aku datang ke taman. Lagipula, kenapa harus di taman sih? Aku sangat
mengantuk dan terlalu lelah untuk menemui Jihan,”
Sudah kuduga. Aku tertidur pulas sekali. Dan,
sepucuk surat dari Jihan masih di genggamanku. Samar-samar kudengar Mama
mengetuk pintu kamarku sembari memanggil namaku. “Masuk saja, Ma. Tidak dikunci
kok,” aku menanggapinya.
“Cinta, tolong cari adikmu. Heran, ke taman
saja sampai petang. Terlebih di luar hujan deras sekali,” ucap Mama sembari
masuk ke kamarku. Dug! Aku jadi teringat surat yang diberikan Jihan. Dia
menungguku di taman. Segera kuambil payung milikku, lalu berlari menuju taman
dengan tergesa-gesa.
“Jihan! Jihan! Ini Kakak, Jihan,” Aku berteriak
memanggil nama Jihan. Mencarinya di sekitar taman perumahan yang luas. “Jihan,
kamu dimana?” suaraku semakin menggema mencari Jihan. Tetes air hujan ikut
mengiringi perjalananku mencari Jihan, adikku yang manis.
Dari kejauhan kulihat sosok anak yang terbaring
di tengah taman. Perasaanku mulai bercampur aduk. Aku merasa sangat bersalah kepada
adikku sendiri. Betapa teganya aku mengabaikannya. Mengabaikan semua
kebaikannya kepadaku. Oh, Jihan....
“Jihan?” Mataku menatap seorang anak yang
terbaring lemah dengan gulungan kertas di genggamannya. Aku tersentak. Sosok
itu benar-benar Jihan adikku. Bibirnya pucat sekali. Dia tergeletak lemas di
taman dengan hujan yang membasahi tubuh mungilnya. “Jihan, bangun..., ini
Kakak…, maafkan Kakak Jihan, maafkan Kakak…,” aku menggerak-gerakkan tubuh
Jihan.
Aku belum bisa membayangkan betapa kejamnya aku
terhadap adikku sendiri. Aku membuat adikku harus terbaring lemas di rumah
sakit dengan jarum infus di tangannya.
Sekali lagi kulirik Jihan yang belum juga
terjaga setelah kejadian kemarin. Aku sangat menyesalinya. Andai saja, aku
menuruti permintaanya untuk datang ke taman. Semua tidak akan berakhir seperti
ini. Baru kutahu, Jihan memintaku datang ke taman karena ia ingin menunjukkan
hasil lukisannya. Dia melukis dua orang anak perempuan yang bergandengan
tangan. Anak perempuan yang pertama lebih tinggi dari yang kedua. Di bawah
lukisan anak perempuan yang pertama terdapat tulisan ‘Kak Cinta yang cantik’.
Dan, gambar anak perempuan yang kedua bertuliskan ‘Jihan yang menyebalkan’.
Lukisannya dipulas dengan warna yang indah. Terdapat tulisan ‘Jihan sayang kak
Cinta’ di atas lukisan itu. Hampir menangis aku melihat lukisan Jihan. Terlebih
saat aku mengetahui, Jihan harus menahan laparnya demi menyelesaikan lukisannya
di kamar. Jihan juga merangkai bunga-bunga membentuk tulisan ‘Maafkan Jihan kak
Cinta’. Sayangnya, aku menyia-nyiakan usaha adikku itu. Aku telah membuatnya
kecewa. Aku bukanlah kakak yang baik untuk Jihan. Rangkaian tulisan dari
bunga-bunga itu sedikit hancur terkena hujan kemarin sore. Namun, aku tetap
mengabadikannya di kamera handphone-ku. Dan, ketika Jihan tersadar nanti
akan kutunjukkan ‘Betapa Hebatnya Dia’. Mama benar, Jihan anak yang hebat.
“Jihan, cepatlah tersadar…. Nanti Kak Cinta ajarin Jihan melukis… Kak Cinta
sayang Jihan.” [*]
Seuntai Puisi
untuk Adikku
(Pemenang 1
LMCA 2014)
Oleh: Giza
Arifkha Putri
Rinai
membasuh bumi dengan riangnya. Bagai anak manja yang telah melewati masa
hukuman setelah beberapa lama terkurung, membuncah deras titik-titik air dari
langit menyongsong kebebasan. Namun sayang, hatiku tak seriang rinai yang
menciptakan embun tebal di jendela kamarku. Hatiku tak sebebas rinai yang
melompat-lompat di atas paving teras rumahku. Ada rasa kesal yang
mengentak-hentak dinding kalbu. Pada dia, adik lelakiku, yang menyita habis
seluruh perhatian Mama, Papa, dan segenap keluarga.
Faza,
sebuah nama yang sebenarnya aku turut andil dalam penciptaannya meskipun hanya
dengan ucapan “ya”, tanda setuju, ketika Papa melontarkan kata itu saat calon
adikku masih tertidur nyaman di dalam perut Mama. Kata Papa waktu itu, hasil
USG menunjukkan kalau calon adikku berjenis kelamin laki-laki. Oleh karena itu,
Papa sudah mempersiapkan nama untuk bayi laki-laki bagi adikku nantinya, hingga
tercetuslah nama “Faza”.
Ketika
genap kandungan Mama menginjak usia 6 bulan, adikku keluar tanpa diminta,
seolah-olah tak sabar melihat dunia yang begitu indah, atau mungkin tak sabar
bertemu denganku, saudara perempuannya. Akibat dari kelahiran yang belum
waktunya itu –orang dewasa sering menyebutnya prematur-- adikku terlahir tak
sempurna. Cedera otak atau istilah yang sering disebut oleh dokter ketika
berbicara dengan Mama adalah Cerebral Palsy, merupakan penyakit yang
diderita adik lelakiku, Faza. Karena penyakit itu, adikku tidak mampu
beraktivitas secara normal seperti anak-anak normal pada umumnya. Faza tidak
bisa bicara, tidak bisa melihat, tidak bisa duduk, apalagi berjalan. Mungkin
hanya pendengaran dan detak jantungnya saja yang masih normal bekerja. Semua
harus dibantu orang-orang di sekelilingnya. Dan itu, sungguh merepotkan bagiku.
Penyakit itu pula yang membuat kasih sayang Mama, Papa, dan segenap keluarga
terenggut dariku. Tentu saja, ketaksempurnaan tubuh Faza membuat semua orang
begitu memperhatikannya.
Dulu,
sebelum dia lahir, perhatian Mama sepenuhnya untukku. Tapi kini, waktu Mama
habis untuk memperhatikan anak kesayangan Mama ini dengan segala kelemahan
organ tubuhnya. Papa juga sama, selalu menghabiskan waktu untuk adikku begitu
pulang kerja dan tak pernah lagi menawariku jalan-jalan sore, menghabiskan
waktu di alun-alun kotaku sambil makan jagung bakar manis dan sate kerang
kesukaanku. Adik lelaki yang dulu sangat kukasihi ketika masih tidur nyenyak di
perut Mama, kini menjadi orang yang paling kubenci sejak dia lahir ke dunia.
Siang
itu sepulang sekolah, Wali Kelasku memintaku menghadap karena ada sesuatu hal
yang ingin ia bicarakan. Aku pun segera menuju ke ruang guru untuk menemui Bu
Jatun, Wali Kelasku.
“Sasa,
tiga hari lagi kamu mewakili sekolah dalam Lomba Macapat Islami tingkat
Provinsi di Semarang. Apakah kamu sudah memberitahu kedua orangtuamu untuk
mendampingimu dalam lomba tersebut?” tanya Bu Jatun, yang langsung kujawab
dengan satu kata, “sudah”. Padahal jawaban itu kukarang dengan spontan, karena
sebenarnya aku tak pernah menyampaikan hal tersebut kepada kedua orangtuaku. Bagaimana
mungkin aku menyampaikan hal itu pada Mama dan Papa, jika waktu mereka habis
untuk Faza. Jadwal terapi dan berobat Faza seolah harga mati yang tidak mungkin
terusik oleh acara sepenting apa pun, termasuk lomba yang akan kuikuti ini.
Percuma, pikirku, toh mereka pasti akan menjawab tidak bisa hadir. Jadi,
kuputuskan untuk diam hingga mendekati hari pelaksanaan lomba.
Suatu
hari sepulang sekolah, Mama tiba-tiba bertanya, “Sa, tadi Mama bertemu Bu
Jatun. Katanya, besok kamu akan mengikuti Lomba Macapat Islami tingkat Provinsi
di Semarang. Bu Jatun menanyai Mama tentang siapa dari Mama dan Papa yang akan
mendampingi kamu di acara itu. Terus terang Mama gelagapan ketika ditanya Bu
Jatun. Mama akhirnya mengatakan kalau Papa yang akan mendampingimu. Kamu kok nggak
pernah mengatakan kepada Mama tentang hal ini, Sa?”
Seolah
meluapkan kekesalan, aku pun menjawab dengan ketus, “Apakah jika Sasa bicara,
Mama dan Papa mau hadir dalam acara itu? Lagi pula, apa Mama dan Papa mau
mendengar jika Sasa bicara?”
“Lho,
Sasa kok bicara gitu sih. Ya pasti dong, Sayang, Mama dan Papa
mau mendengarkan setiap kali Sasa ingin menyampaikan sesuatu,” jawab Mama
dengan sabar dalam memberi reaksi pada keketusanku.
“Bohong.
Selama ini yang ada di pikiran Mama, Papa, dan semua orang hanyalah Faza dan
Faza. Tidak ada yang peduli lagi dengan Sasa. Setiap Sasa menginginkan sesuatu,
Mama dan Papa selalu menolak dengan alasan Faza. Semua orang tidak ada lagi
yang sayang samaSasa,” teriakku sambil menangis.
Menghadapiku,
Mama dengan kesabarannya mendekatiku. “Sasa anakku, jika Mama dan Papa bisa
memilih, maka kami akan memilih anak seperti Sasa. Anak yang pintar, cantik,
dan berprestasi. Tapi rupanya Allah menganugerahkan Mama dan Papa, juga Sasa
tentunya, anak dan adik yang seperti Faza. Membandingkan antara kondisi Faza
dan Sasa, tentunya Sasa sebagai kakak harus punya pengertian yang sangat besar
jika Mama dan Papa sedikit lebih memperhatikan Faza. Ketika Faza tidak bisa
melihat dan Sasa bisa melihat, maka tentunya Mama dan Papa akan memapah Faza
dengan tanpa mengabaikan Sasa. Ketika Faza tidak bisa berjalan dan Sasa bisa
berjalan dengan normal, maka Mama dan Papa akan menggendong Faza dengan tanpa
mengabaikan Sasa. Dalam hal ini, Mama dan Papa minta maaf jika mungkin selama
ini terkesan lebih memerhatikan adikmu. Tapi sungguh, harapan kami, kasih
sayang kami tidak berat sebelah antara satu anak dengan anak yang lainnya. Sasa
bisa mengerti maksud Mama?”
Panjang
lebar Mama menasihatiku, tapi rupanya rasa kesalku terhadap Faza lebih bertahta
dari rasa sayangku terhadap Mama. Maafkan aku, Ma. Aku belum sanggup
menerimanya.
Di
antara rasa kesal yang masih menggelora, keesokan harinya aku pun mengikuti
Lomba Macapat Islami dengan didampingi Papa. Ternyata, rasa kesal mempengaruhi
hasil suaraku sehingga aku harus berpuas diri meraih juara harapan ke-3. Papa
membesarkan hatiku, demikian juga dengan Mama, melalui pesawat telepon di
seberang sana.
“Selamat
ya, Sayang,” sambut Mama begitu aku sampai di rumah. Aku tidak begitu
bersemangat menanggapi pelukan Mama yang tangan kanannya repot memangku Faza
--dengan mulut yang belepotan air liur dan makanan seperti biasanya.
Huh,
menyebalkan!
Aku
pun meletakkan begitu saja piagam penghargaanku, lalu buru-buru berlari ke
kamar mengadukan kekesalan hati pada bantal dan guling. Mungkin karena
kelelahan, aku pun tertidur untuk beberapa saat. Namun, ocehan dan teriakan
Faza mengusik mimpiku dan memaksaku bangun untuk menghampirinya dengan
bersungut. “Dasar anak nggak normal! Bisanya cuma mengganggu ketenangan
orang,” gerutuku dengan menurunkan volume suara tentunya, karena jika Mama
mendengar aku menyebut Faza sebagai “anak nggak normal”, pasti aku akan kena
marah nantinya.
“Ya
Allah, Faza. Apa yang kamu lakukan pada piagam Kakak?” Aku berteriak ketika
melihat piagam penghargaan yang kuperjuangkan tadi siang, dilumat habis
olehnya. Memang, semua benda yang tersentuh tangan Faza, selalu habis ia makan
pada akhirnya. Dan memang, sebenarnya kesalahanku juga telah meletakkan piagam
itu di atas kasur Faza sehingga sampailah benda berharga itu di mulutnya.
Kukeluarkan dengan paksa remahan piagamku dari mulut Faza. Kupunguti piagam
yang sudah tak berupa itu dengan isakan tangis dan rasa kesal pada adikku.
Kucubit pipinya yang gempal dan putih hingga memerah dan membuatnya menangis
keras. Kutinggalkan ia dengan tangisnya, sampai Mama yang baru mandi keluar
terbirit-birit menghampiri dan kemudian menenangkan Faza.
Jam
menunjukkan pukul 04.30. Kudengar suara gaduh dari luar kamar. Aku pun keluar
menghampiri asal suara yang mengusik tidur nyenyakku. Kulihat Mama dengan muka
cemas menggendong Faza yang sudah memakai jaket dan selimut tebal seperti
hendak bepergian. Sementara Papa membawa tas yang biasanya berisi pakaian Faza.
“Papa
dan Mama mau membawa Faza ke mana?,” tanyaku mengusik kecemasan mereka.
“Oh,
kamu sudah bangun, Sayang. Ini, adikmu semalam panas tinggi dan kejang. Mama
khawatir karena sampai sekarang panasnya belum turun. Jadi mau Mama bawa Faza
ke rumah sakit. Kamu shalat subuh dulu sana, doakan Adik supaya tidak ada
apa-apa ya!” kata Mama menggoreskan luka di hatiku.
Kudekati
Faza, kupegang dahinya, dan kurasakan panas menjalar di sekujur tubuhku.
Tiba-tiba saja ada rasa penyesalan yang melanda atas perlakuanku kepadanya tadi
sore. Kutengok pipi putih yang merona merah sisa kekejamanku. Ya Allah, aku
takut jika sakitnya Faza karena ulahku. Ya Allah, sembuhkan adikku dari sakit
yang dideritanya saat ini. Aku meminta dengan ketulusan hati dalam shalat
subuhku.
Pagi,
di sekolah, aku tak berkonsentrasi dengan pelajaran yang disampaikan oleh guru.
Pikiranku melayang-layang pada kondisi Faza. Ingin sekali mempercepat waktu
agar bel pulang segera berbunyi sehingga aku dapat segera ke rumah sakit
bertemu Mama, Papa, dan Faza. Kata Mama sebelum ke rumah sakit subuh tadi,
Kakek akan menjemputku sepulang sekolah dan langsung membawaku ke rumah sakit
jika aku berkeinginan menjenguk Faza.
“Sasa,
jangan melamun! Kamu paham tugas yang Ibu minta tadi?” ucapan Bu Jatun
membuyarkan lamunanku.
“Eh,
maaf Bu. Mohon diulangi, saya kurang paham,” kataku berbohong.
“Baiklah,
Ibu akan ulangi lagi perintah Ibu tadi. Sasa dan juga yang lainnya, dengarkan
baik-baik tugas yang akan kalian kerjakan hari ini! Buatlah sebuah puisi
tentang ungkapan kasih sayang kita kepada seseorang yang sangat berarti dalam
kehidupan kita! Seseorang itu bisa berarti orang tua, saudara, kerabat, ataupun
sahabat. Sudah paham anak-anak?” jelas Bu Jatun yang diikuti ucapan “paham
Buuu” secara koor oleh aku dan teman-teman.
Tugas
mengarang puisi yang diberikan Bu Jatun mengangankanku akan sosok adikku
tersayang, meskipun selama ini menurutku belum benar-benar kusayang karena
kecemburuanku yang buta. Sebuah puisi untuk adikku, Faza, akan kubuat untuk
memenuhi tugas Bu Jatun sekaligus sebagai tanda kasih dan maafku padanya.
“Seuntai
Puisi untuk Adikku” adalah judul puisiku, mengalir dalam goresan tinta dan air
mata penyesalanku.
Andai sanggup kuuntai air mata
kan kurajut menjadi selimut hangat
dengan balutan
kasih yang kan menutupi tubuh mungilmu
Andai kumampu
memberi warna pada harimu yang tak bermimpi
hingga luka satu-satu pergi
dan aku bebas memelukmu
dengan hujan tangis yang memburu
Adikku, bersabarlah karena Tuhan punya rencana
di balik ketaksempurnaan tubuhmu
yakinlah aku akan menerimamu tanpa ragu
Akhirnya,
bel tanda berakhirnya pelajaran pun berbunyi. Bergegas aku berlari
keluar kelas setelah sebelumnya bersalaman dan mengucapkan salam pada
guru yang mengajar di jam pelajaran terakhir. Kubawa kertas hasil
karangan puisiku yang tadi sempat kubacakan di depan kelas. Ada nilai 90
bertinta merah tertuliskan dari pena Bu Jatun sebagai penghargaan atas hasil
karyaku itu. Aku berlari kencang menghampiri Kakek yang telah menungguku
di depan gerbang sekolah. Kami pun segera meluncur ke rumah sakit tempat
Faza dirawat.
“Mamaaa…,”
aku berteriak sambil membuka paksa pintu sebuah ruangan rumah sakit,
yang ber-AC, berbau obat, dan serba putih.
“Eh,
Kakak datang,” sambut Papa sambil meraihku dan mengangkat tubuhku untuk
kemudian mendudukkanku di sisi sebuah ranjang tempat Faza
berbaring.
Kulihat Faza dengan muka lemah masih sempat tersenyum sebagaimana yang selalu
ia lakukan setiap kali mendengar suaraku, tersenyum tanpa makna. Tangan
kanannya tampak terbebani oleh selang panjang yang berjarum --kata Mama disebut
infus. Pasti sakit tentunya.
“Mama,
bagaimana keadaan Faza?” tanyaku pada Mama yang ada
di sebelah
Faza.
“Alhamdulillah,
berkat doa Kakak, Adik Faza sudah baikan sekarang. Ini tinggal pemulihan
saja,” kata Mama memberi penjelasan.
Dengan
penuh kasih sayang dan rasa penyesalan, kubelai kepala Faza yang hangat. “Za,
maafin Kakak ya. Kakak jahat sama kamu selama ini. Habisnya semua
orang jadi tidak peduli sama Kakak gara-gara Kamu. Maafin juga
kemarin Kakak marah-marah dan nyubit pipi kamu sampai merah. Salah
sendiri kamu nakal ngrusakin piagam Kakak.”
“Oooaa,”
seolah mengerti apa yang kuucapkan, Faza menimpali ucapanku dengan ocehannya.
Mama, Papa, dan Kakek pun tertawa mendengarnya.
“O
iya, Kakak buatin kamu sebuah puisi lho. Dapat nilai 90 nih.
Kakak bacain ya,” kataku bersemangat sembari turun dari atas ranjang.
Semua
pun menyambutku dengan tepuk tangan. Dengan gaya bak seorang penyair, aku pun
mempersiapkan ekspresi terbaik untuk membacakan hasil karya terbaikku untuk
adikku tersayang. “Sebuah puisi karya Sasa Putri Delvaira untuk Adik tercinta,
Faza Putra Delvaira,” ucapku mengawali pembacaan puisiku dengan hati riang.
DIA YANG KEMBALI TERSENYUM
Cerpen Pemenang Lomba ROHTO
Wajah dibalik cermin itu kembali
datang mengusik. Menyeringai lebar namun tak seperti serigala. Merintih pelan
namun sama sekali tak mirip anak kucing yang mencari puting susu induknya.
Melainkan lebih mirip anjing letih. Lidahnya menjulur, nafasnya terengah. Dan
kedua bola matanya sayu saat memandangku.
Tenanglah, penderitaanmu tak akan
lama lagi. Bisikku, seraya mengelusnya. Elusan yang terhalang oleh lima
milimeter kaca cermin. Bibir yang semula menyeringai itu kini mengerucut,
panjang ke depan, seperti menanggung segunung kesal yang terkunci rapat di
ujung bibir.
Kulepaskan jemariku, lalu melangkah
mundur. Wajah itu ikut mundur. Bedanya, jika aku tersenyum, ia justru merengut.
Tatapannya bertambah sayu. Dan gerak nafasnya melambat.
Aku masih tersenyum. Sampai kakiku menyentuh permukaan lembut seprei ranjang. Lalu merebahkan tubuh. Wajah itu berusaha untuk rebah juga. Namun entah kenapa wajah itu tak kunjung terpejam. Gelisah. Saat ku terjaga kulihat ia masih terjaga. Menanggung perihnya seorang diri.
Aku masih tersenyum. Sampai kakiku menyentuh permukaan lembut seprei ranjang. Lalu merebahkan tubuh. Wajah itu berusaha untuk rebah juga. Namun entah kenapa wajah itu tak kunjung terpejam. Gelisah. Saat ku terjaga kulihat ia masih terjaga. Menanggung perihnya seorang diri.
*******
“Kenapa tidak sarapan, hanya minum?” Ibu menatapku heran. Aku meneguk jus jeruk dengan terburu. Membiarkan setangkup roti bakar berlapis selai kacang, telur setengah matang bertabur serbuk merica, juga segelas susu beraroma vanilla, diam di tempatnya.
“Maaf, bu, aku sudah telat.”
“Kenapa tidak sarapan, hanya minum?” Ibu menatapku heran. Aku meneguk jus jeruk dengan terburu. Membiarkan setangkup roti bakar berlapis selai kacang, telur setengah matang bertabur serbuk merica, juga segelas susu beraroma vanilla, diam di tempatnya.
“Maaf, bu, aku sudah telat.”
“Kalau begitu dibungkus saja. Nanti
jam istirahat jangan lupa dimakan.” Dan tanpa menunggu persetujuanku, ibu telah
memasukkan roti bakar ke dalam kotak bekalku.
Aku ingin protes. Namun detak jam di dinding menjadi pengingatku. Wajah itu muncul lagi, saat langkahku melintasi cermin berbingkai jati yang tergantung di ruang tamu. Tapi kali ini, ia mencoba untuk tersenyum.
Aku ingin protes. Namun detak jam di dinding menjadi pengingatku. Wajah itu muncul lagi, saat langkahku melintasi cermin berbingkai jati yang tergantung di ruang tamu. Tapi kali ini, ia mencoba untuk tersenyum.
Huh. Aku mendengus. Cepat aku menuju
halte. Sedikit pusing saat melompat ke dalam bis. Wajah itu masih mencoba untuk
tersenyum, saat sekilas kutatap ia yang memantul di kaca spion bis. Aku
menggeram.
*******
“Di, ke kantin yuk,” “Maaf, aku di kelas saja. Aku bawa bekal,” tolakku pada ajakan Hanna saat bel istirahat berbunyi. “Tidak apa-apa, bawa saja bekalmu ke kantin. Mana? Biar kuambilkan.” Tukas Hanna seraya membuka tasku.
“Di, ke kantin yuk,” “Maaf, aku di kelas saja. Aku bawa bekal,” tolakku pada ajakan Hanna saat bel istirahat berbunyi. “Tidak apa-apa, bawa saja bekalmu ke kantin. Mana? Biar kuambilkan.” Tukas Hanna seraya membuka tasku.
Aku tak bisa mengelak. Saat kotak
bekal itu sudah berada di tangan Hanna lalu dengan tangannya yang lain
menggandeng lenganku menuju kantin.
“Mau pesan apa, Di?” tanya Hanna
saat kami tiba di kantin.
“Air putih saja.”
“Kenapa cuma air putih?”
“Kan aku sudah bawa bekal?” Aku
balik bertanya.
“Maksudku, ya kenapa cuma air putih?
Kenapa bukan es teh? Atau syrup?”
“Bukankah air putih paling baik
untuk kesehatan? Tidak baik membiasakan diri minum yang manis-manis. Lama-lama
bisa kena kencing manis.”
*******
Ia hanya menyantap separuh roti bakarnya saat jam istirahat tadi. Ketika Hanna memergokinya yang tengah menyimpan sisa roti bakar dalam kotak bekalnya ia mengatakan kalau roti bakar itu sudah dingin dan liat. Ketika Hanna menawarinya untuk memesan menu lain di kantin ia menjawab sudah kenyang. Ia memang bodoh.
Ia hanya menyantap separuh roti bakarnya saat jam istirahat tadi. Ketika Hanna memergokinya yang tengah menyimpan sisa roti bakar dalam kotak bekalnya ia mengatakan kalau roti bakar itu sudah dingin dan liat. Ketika Hanna menawarinya untuk memesan menu lain di kantin ia menjawab sudah kenyang. Ia memang bodoh.
*******
Wajah itu kian nelangsa. Seperti anak kucing yang berhari-hari tak menemukan sebutir remah pun untuk dimakan, setelah berhari-hari juga ia terpisah dari puting susu induknya. Ia bahkan tak mampu lagi menjulurkan lidahnya. Sepasang mata yang menatap sayu kini sesekali terpejam. Mungkin ia mengantuk.
Wajah itu kian nelangsa. Seperti anak kucing yang berhari-hari tak menemukan sebutir remah pun untuk dimakan, setelah berhari-hari juga ia terpisah dari puting susu induknya. Ia bahkan tak mampu lagi menjulurkan lidahnya. Sepasang mata yang menatap sayu kini sesekali terpejam. Mungkin ia mengantuk.
Aku tersenyum lebar. Aku tak peduli
pada wajah itu. Melainkan pada tubuh yang berada dibawahnya. Tubuh itu tak lagi
sama. Namun satu yang kusadari bahwa akhir-akhir ini wajah diatas tubuh itu
telah kian pilu.
Maukah kau untuk sejenak bersabar?
Aku tak mengelus wajah itu, sebaliknya mengelus sesuatu dibalik piyamaku.
Sesuatu yang kini terasa hampa. Tipis. Rata seperti papan namun permukaannya
lembut seperti kain.
Aku memejam mata. Merasakan sensasi
aneh saat jemariku terus mengelus. Sensasi yang hanya berisi tiga kata,
kepuasan, kepuasan, dan kepuasan. Setelah dulu – entah kapan, malas untuk
mengingatnya lagi – permukaan yang kuelus itu kerap memancing air mataku.
Berulang kali mengenakan pakaian untuk kemudian melepaskannya kembali saat
apapun jenis pakaian yang kupakai tetap gagal menutupi permukaannya yang mirip
tonjolan bukit kecil. Hampir menyerupai tonjolan pada perut ibu yang sedang
mengandung. Dan aku akan langsung menangis jika ada yang mengatakan bahwa
permukaan itu memang mirip perut ibu yang sedang mengandung.
Ahh ! Aku tersentak. Gerakan
mengelus sontak berubah menjadi cengkeraman yang benar-benar rapat dan kuat.
Saat dari balik permukaan itu tiba-tiba saja muncul gerakan gemuruh. Seperti
gunung yang tak tahan untuk segera memuntahkan laharnya.
Tidak. Ini tak akan berlangsung lama. Aku perlahan bergerak mundur. Mundur. Tanpa menatap lagi wajah diatas tubuh itu. Entah masih pilu. Atau mungkin telah terisak.
*******
“Hari ini kamu harus sarapan, Diandra.” “Tapi….”
Tidak. Ini tak akan berlangsung lama. Aku perlahan bergerak mundur. Mundur. Tanpa menatap lagi wajah diatas tubuh itu. Entah masih pilu. Atau mungkin telah terisak.
*******
“Hari ini kamu harus sarapan, Diandra.” “Tapi….”
“Tidak ada tapi-tapi. Tidak ada
alasan telat sekolah lagi. Kamu sudah terlalu kurus. Lihat, baju dan rokmu
sudah longgar semua.”
“Tapi kalau telat aku dimarahi,
bu….”
“Biar ibu mengantarmu hari ini.
Kalau dimarahi, ibu yang akan bilang pada gurumu kenapa
kamu terlambat…”
“Kenapa? Karena aku harus sarapan
dulu? Astaga, bu! Aku bukan anak kecil lagi! Nanti aku malah
ditertawakan!”
“Siapa yang akan menertawakanmu?
Teman-temanmu? Coba saja kalau mereka berani menertawakanmu.”
Kali ini aku tak bisa melawan kehendak ibu. Ibu bahkan mengancam tak memberiku uang saku kalau aku menolak untuk sarapan.
Kali ini aku tak bisa melawan kehendak ibu. Ibu bahkan mengancam tak memberiku uang saku kalau aku menolak untuk sarapan.
Sejak hari itu ibu mulai ketat
mengawasi sarapan pagiku. Karena hanya pada saat sarapan ibu bisa menemaniku.
Selebihnya, ibu harus bekerja sampai larut malam demi menghidupi kami berdua
sepeninggal ayahku.
Kini setiap pagi ibu meluangkan
lebih banyak waktu untuk menyiapkan sarapan ekstra. Nasi goreng komplit dengan
irisan telur, sosis, dan parutan wortel. Atau bubur ayam bertabur daging suwir,
seledri, bawang goreng lengkap dengan kaldu ayam kental.
Pada awalnya aku merengut, namun setiap kali pula aku tak kuasa menolak untuk menyisakan sarapan buatan ibu yang rasanya memang sangat lezat. Namun akhir-akhir ini, entah kenapa aku malas tersenyum. Aku juga mulai malas melihat cermin, karena wajah itu belakangan ini tampak mencoba untuk kembali tersenyum. Aku tak suka melihatnya tersenyum. Antara ia dan aku, memang sudah lama tak pernah sepakat.
Pagi ini aku kembali menemui ibu di meja makan. Ibu yang menyambutku dengan senyum lebar dan sepaket sarapan komplit : bubur kacang hijau, susu vanilla, telur setengah matang, dan sebutir tablet multivitamin. Bunyi dengusan pelan dari arah pintu samping membuatku sejenak menoleh. Ah. Si Manis kucing tetangga rupanya. Ia mendengus-dengus. Kepalanya tertunduk-tunduk. Dan dari celah mulutnya, terluah cairan pekat.
Aneh. Aku tak merasa jijik. Aku tersenyum.
Pada awalnya aku merengut, namun setiap kali pula aku tak kuasa menolak untuk menyisakan sarapan buatan ibu yang rasanya memang sangat lezat. Namun akhir-akhir ini, entah kenapa aku malas tersenyum. Aku juga mulai malas melihat cermin, karena wajah itu belakangan ini tampak mencoba untuk kembali tersenyum. Aku tak suka melihatnya tersenyum. Antara ia dan aku, memang sudah lama tak pernah sepakat.
Pagi ini aku kembali menemui ibu di meja makan. Ibu yang menyambutku dengan senyum lebar dan sepaket sarapan komplit : bubur kacang hijau, susu vanilla, telur setengah matang, dan sebutir tablet multivitamin. Bunyi dengusan pelan dari arah pintu samping membuatku sejenak menoleh. Ah. Si Manis kucing tetangga rupanya. Ia mendengus-dengus. Kepalanya tertunduk-tunduk. Dan dari celah mulutnya, terluah cairan pekat.
Aneh. Aku tak merasa jijik. Aku tersenyum.
*******
Wanita itu tersenyum. Hanna juga tersenyum. Semua yang mengenalnya ikut tersenyum. Gadis itu telah kembali seperti dulu. Gadis yang dulunya mencintai apapun yang bisa memuaskan lambungnya. Sampai kemudian ia bertemu Ronald. Sampai kemudian ia menjadi rajin membeli majalah remaja yang didalamnya terdapat lembaran formulir.
Awalnya aku juga masih hobi tersenyum. Sampai tiba suatu masa dimana hanya ia saja yang mampu melakukannya. Tak hanya senyumku yang ia renggut. Tapi juga senyum ibunya. Senyum Hanna. Senyum sahabat-sahabatnya.
Wanita itu tersenyum. Hanna juga tersenyum. Semua yang mengenalnya ikut tersenyum. Gadis itu telah kembali seperti dulu. Gadis yang dulunya mencintai apapun yang bisa memuaskan lambungnya. Sampai kemudian ia bertemu Ronald. Sampai kemudian ia menjadi rajin membeli majalah remaja yang didalamnya terdapat lembaran formulir.
Awalnya aku juga masih hobi tersenyum. Sampai tiba suatu masa dimana hanya ia saja yang mampu melakukannya. Tak hanya senyumku yang ia renggut. Tapi juga senyum ibunya. Senyum Hanna. Senyum sahabat-sahabatnya.
Jadi sekarang, tidak aku heran saat
melihat mereka kembali tersenyum. Hanya satu-satunya yang tak bisa gadis itu
lakukan. Ia belum kembalikan senyumku.
*******
“Wah, kamu hebat ya sekarang.” “Hebat apanya?” “Dulu makanmu sedikit, sekarang banyak, tapi tubuhmu tetap langsing. Apa sih rahasianya?” Aku hanya tersenyum. Melirik pada Hanna yang juga ikut tersenyum.
“Wah, kamu hebat ya sekarang.” “Hebat apanya?” “Dulu makanmu sedikit, sekarang banyak, tapi tubuhmu tetap langsing. Apa sih rahasianya?” Aku hanya tersenyum. Melirik pada Hanna yang juga ikut tersenyum.
Hari ini aku makan di kantin.
Padahal di rumah, sebenarnya aku sudah sarapan. Menghabiskan sarapan yang
dihidangkan ibu tanpa sisa, sebaliknya menyisakan senyum lebar di wajah ibu
sebelum ia berangkat bekerja.
Saat meninggalkan kantin, mendadak
jantungku berdebar-debar. Dalam jarak lima meter didepanku, cowok tampan itu
berdiri memandangku, terus memandangku, dan ia masih disana, meski aku telah
berlalu dari hadapannya.
*******
Ia berhasil mendapatkannya. Senyum yang paling ia dambakan diantara semua senyum. Bahkan sampai tengah malam pun ia masih tersenyum-senyum. Dalam apapun yang ia lakukan ia tetap tersenyum. Lalu ia tertidur. Seraya mendekap foto Ronald, juga formulir di majalah yang baru saja ia gunting.
Ia berhasil mendapatkannya. Senyum yang paling ia dambakan diantara semua senyum. Bahkan sampai tengah malam pun ia masih tersenyum-senyum. Dalam apapun yang ia lakukan ia tetap tersenyum. Lalu ia tertidur. Seraya mendekap foto Ronald, juga formulir di majalah yang baru saja ia gunting.
*******
Ibu menatap hidangan di meja makan seraya tersenyum puas. Hari ini ulang tahun Diandra. Dan ibu yakin kalau Diandra tidak ingat. Buktinya sampai tadi malam Diandra tidak bilang apa-apa. Mungkin anak gadisnya itu terlalu sibuk. Sebentar lagi dia akan ujian semester. Namun tentu saja ibu tak pernah lupa. Dalam hidupnya ia hanya mengingat tiga hari dan tanggal ulang tahun. Ulang tahun Diandra, ulang tahun suaminya, dan ulang tahunnya sendiri. Karena suaminya telah meninggal, maka ia tak pernah lagi menyiapkan apa-apa pada saat tanggal itu tiba, selain hanya memanjat doa agar segala dosa suaminya diampuni dan kelak mereka akan dipertemukan di syurga.
Ibu menatap hidangan di meja makan seraya tersenyum puas. Hari ini ulang tahun Diandra. Dan ibu yakin kalau Diandra tidak ingat. Buktinya sampai tadi malam Diandra tidak bilang apa-apa. Mungkin anak gadisnya itu terlalu sibuk. Sebentar lagi dia akan ujian semester. Namun tentu saja ibu tak pernah lupa. Dalam hidupnya ia hanya mengingat tiga hari dan tanggal ulang tahun. Ulang tahun Diandra, ulang tahun suaminya, dan ulang tahunnya sendiri. Karena suaminya telah meninggal, maka ia tak pernah lagi menyiapkan apa-apa pada saat tanggal itu tiba, selain hanya memanjat doa agar segala dosa suaminya diampuni dan kelak mereka akan dipertemukan di syurga.
Dan hari ini adalah hari ulang tahun
Diandra. Sejak beberapa hari lalu ibu telah sibuk menyiapkan segala sesuatunya.
Berbelanja di swalayan, memesan kue ulang tahun rasa coklat bertabur irisan
strawberry, juga membeli hadiah spesial untuk Diandra.
Ibu ingin merayakan ulang tahun Diandra yang ke tujuh belas berdua saja dengan anak gadisnya itu. Dan ia pun tak berniat menghalangi andai Diandra ternyata sudah punya rencana sendiri untuk merayakan ulang tahunnya. Apa yang penting baginya adalah bahwa momen istimewa itu dapat ia rayakan bersama Diandra dalam satu-satunya waktu yang mampu ia bagi. Waktu sarapan pagi.
Ibu ingin merayakan ulang tahun Diandra yang ke tujuh belas berdua saja dengan anak gadisnya itu. Dan ia pun tak berniat menghalangi andai Diandra ternyata sudah punya rencana sendiri untuk merayakan ulang tahunnya. Apa yang penting baginya adalah bahwa momen istimewa itu dapat ia rayakan bersama Diandra dalam satu-satunya waktu yang mampu ia bagi. Waktu sarapan pagi.
“Diandra! Buka pintunya, nak! Kita
sarapan sama-sama!” serunya lantang seraya mengetuk pintu kamar Diandra.
Tak ada jawaban. “Ibu tunggu dibawah ya! Cepatlah kau mandi dan berpakaian!”
Serunya lagi, lalu bergegas kembali ke ruang makan. Begitu khawatirnya ia bahwa
masih ada menu yang terlupa disiapkan ataupun kucing tetangganya yang nakal itu
tiba-tiba saja nyelonong masuk lalu naik ke atas meja makan dan mengacaukan
segalanya.
Ibu menunggu dengan gelisah. Berkali-kali melirik arloji namun Diandra tak juga muncul. Padahal jam weker dari kamar Diandra telah beberapa kali berdering. Mustahil kalau Diandra tak mendengarnya.
Ibu menunggu dengan gelisah. Berkali-kali melirik arloji namun Diandra tak juga muncul. Padahal jam weker dari kamar Diandra telah beberapa kali berdering. Mustahil kalau Diandra tak mendengarnya.
Ibu mulai memanggil-manggil. Jarak
antara ruang makan dan kamar Diandra hanya terpaut empat meter. Tidak mungkin
Diandra tak mendengar suaranya kecuali kalau gadis itu memang masih pulas
tertidur.
Sampai menit ke sepuluh bergeser
dari arloji ibu bangkit dari duduknya. Ia baru saja hendak menuju ke kamar
Diandra ketika ekor matanya menangkap sosok si Manis dari arah pintu samping.
Kucing itu berhenti tak jauh dari pintu. Dan ia mulai mendengus. Ibu telah
hafal kebiasaan kucing yang sama sekali tidak manis itu. Selain nakal dan suka
mencuri, kucing itu juga sangat jorok. Jika sudah mendengus-dengus seperti itu
maka sebentar lagi ia pasti akan muntah.
Ibu meraih gagang sapu lalu mendekati si Manis. “Pergi! Jangan muntah disini, kucing jorok!” Si Manis memandang wajah ibu. Lidahnya terjulur. “Hey, kau tidak dengar ya? Ayo pergi sebelum ku….” Ibu belum lagi menuntaskan ancamannya. Sepasang matanya telah tertarik ke sepetak tanah tak jauh dari kaki si Manis. Juga parit kecil yang mampet di sebelahnya. Disana, ibu melihat genangan cairan berwarna kuning, butiran-butiran nasi, potongan-potongan telur dadar, daun-daun sawi, gumpalan serupa coklat leleh yang belum membeku sempurna. Jumlahnya banyak….banyak sekali. Sepertinya, benda-benda itu belum lama ada disana.
Ibu meraih gagang sapu lalu mendekati si Manis. “Pergi! Jangan muntah disini, kucing jorok!” Si Manis memandang wajah ibu. Lidahnya terjulur. “Hey, kau tidak dengar ya? Ayo pergi sebelum ku….” Ibu belum lagi menuntaskan ancamannya. Sepasang matanya telah tertarik ke sepetak tanah tak jauh dari kaki si Manis. Juga parit kecil yang mampet di sebelahnya. Disana, ibu melihat genangan cairan berwarna kuning, butiran-butiran nasi, potongan-potongan telur dadar, daun-daun sawi, gumpalan serupa coklat leleh yang belum membeku sempurna. Jumlahnya banyak….banyak sekali. Sepertinya, benda-benda itu belum lama ada disana.
Ibu ternganga. Terbeliak. Saat
menolehkan kepala baru disadarinya bahwa si Manis telah raib. Entah kapan
kucing itu beranjak dari situ. Ibu menoleh lagi. Pada genangan kotoran dan
parit yang tersumbat. Seketika, teringat ia akan menu sarapan yang ia siapkan
kemarin pagi.
*******
Wajah itu datang lagi. Menatap Diandra yang masih terpejam. Masih memeluk foto Ronald, juga guntingan formulir dari majalah. Hanya kali ini gadis itu benar-benar pulas. Saking pulasnya hingga gelombang dadanya pun tiada. Aliran darah segar yang seharusnya merona, juga tiada.
*******
Wajah itu datang lagi. Menatap Diandra yang masih terpejam. Masih memeluk foto Ronald, juga guntingan formulir dari majalah. Hanya kali ini gadis itu benar-benar pulas. Saking pulasnya hingga gelombang dadanya pun tiada. Aliran darah segar yang seharusnya merona, juga tiada.
Wajah itu tak lagi tampak letih,
putus asa dan memohon belas. Ia tersenyum.
Sumber: Riawani Elyta
Sumber: Riawani Elyta
Setangkai Bunga untuk Bu Imah
Didin masih kesal dengan gurunya. Gara-gara
tidak mengerjakan tugas Bahasa Indonesia, Bu Imah menyetrap Didin dengan
menyuruhnya berdiri di depan kelas. Selama di kelas lima, Didin sudah tiga kali
diberi hukuman yang sama oleh Bu Imah. Didin malu pada teman-temannya. Tapi,
Didin juga tak pernah mau mengubah kebiasaannya yang malas mengerjakan tugas
sekolah itu.
“Awas ya, Bu Imah, aku akan balas nanti,”
gerutu Didin dengan tangan mengepal.
“Eh,
memangnya kamu mau membalas apa ke Bu Imah?” tanya Agung terpancing dengan
gerutuan Didin.
“Itu
rahasia, yang penting Bu Imah harus merasakan kesal yang sama dengan ku!” jawab
Didin tak mau mengatakan rencana balas dendamnya.
“Dosa
itu Din. Bu Imah kan guru kita,” balas Agung mencoba menyadarkan Didin.
“Halaaah...mikirin dosa, dia saja enggak mikir
kalau aku lelah berdiri sejam di depan kelas!” kata Didin bertambah kesal.
“Iya,
tapi....”
“Sudah!
Kamu enggak usah ikut campur, Gung! Sok baik kamu. Mau dapat nilai tinggi ya?
Cari muka!” potong Didin cepat membuat Agung tak berani meneruskan
kata-katanya. Agung buru-buru meninggalkan Didin. Dia tak mau mencari masalah
dengan Didin.
“Nah!
Itu dia sepeda Bu Imah,” seru Didin sambil melangkah dengan cepat menuju ke
tempat parkir sekolah.
“Makanya,
jangan main-main sama Didin,” ujar Didin sambil membuka tutup pentil sepeda Bu
Imah. Setelah selesai mengempiskan ban sepeda Bu Imah, Didin kembali ke kelas.
Tinggal
satu mata pelajaran lagi. Didin tak sabar menunggu waktu pulang. Dia ingin
melihat wajah Bu Imah yang menahan kesal karena ban sepedanya kempis.
Teeet!
Akhirnya bel tanda pulang pun berbunyi. Didin buru-buru menuju kamar mandi sekolah yang letaknya tak jauh dari parkiran. Bibir Didin menahan senyum kepuasan, saat melewati ruang guru. Didin sempat melihat Bu Imah merapikan buku-bukunya. Mata Didin berbinar-binar melihat Bu Imah yang sebentar lagi akan pulang dengan berjalan kaki.
Akhirnya bel tanda pulang pun berbunyi. Didin buru-buru menuju kamar mandi sekolah yang letaknya tak jauh dari parkiran. Bibir Didin menahan senyum kepuasan, saat melewati ruang guru. Didin sempat melihat Bu Imah merapikan buku-bukunya. Mata Didin berbinar-binar melihat Bu Imah yang sebentar lagi akan pulang dengan berjalan kaki.
“Eh,
Din! Kemari kamu!” panggil Bu Imah. Jantung Didin seolah berhenti berdetak.
Wah, gawat! Apakah Bu Imah tahu kalau aku telah mengempiskan ban sepedanya ya?
tanya Didin ketakutan dalam hatinya.
“Didin!”
panggil Bu Imah sekali lagi. Dengan langkah gemetar, Didin mendekati ruang
guru.
“Iya
Bu. Maafkan saya,” ujar Didin sambil menundukkan kepalanya.
“Maaf?
Untuk apa? Bukannya tadi Ibu sudah memaafkan kamu gara-gara tidak mengerjakan
pe-er?” tanya Bu Imah kebingungan.
“Anu,
anu Bu,” jawab Didin terbata-bata.
“Sudahlah,
Din. Ibu cuma mau mendidik kamu supaya bisa mengubah kebiasaan malasmu itu.
Kasihan ibumu yang berjuang sendiri membiayai sekolahmu,” balas Bu Imah. Didin
semakin menundukkan kepalanya.
“Mengerajakan
pe-er itu tujuannya untuk melatih kedisplinan juga, Din,” tambah Bu Imah lagi.
Didin diam. Dia tak berani menatap wajah Bu Imah. Saat ini, yang ada di kepala
Didin hanya bayangan ban sepeda Bu Imah yang kempis gara-gara ulahnya.
“Nah,
tadi kebetulan Ibu dapat rezeki dari Bapak Kepala Sekolah. Karena Ibu dengar
ibumu sedang sakit, maka rezeki ini sebaiknya Ibu bagi buat ibu kamu,” ujar Bu
Imah. Didin berusaha mengangkat wajahnya.
“Berikanlah
kotak kue ini ke ibu kamu ya. Sampaikan salam Ibu juga. Semoga ibu kamu cepat
sembuh dan bisa berjualan lagi di pasar,” kata Bu Imah semakin membuat Didin
bingung dan malu.
“I...iya
Bu. Maafkan saya,” balas Didin gugup.
“Ibu
mendengar kabar ini dari Agung, teman sebangkumu. Kalau tidak, Ibu enggak
pernah tahu jika ibumu sedang sakit,” ujar Bu Imah lagi.
“Maafkan
saya Bu,” sekali lagi Didin mengucapkan permintaan maafnya.
“Ibu
sudah memaafkanmu, Din. Sekarang pulanglah. Hati-hati ya, kotak kuenya jangan
sampai terjatuh,” kata Bu Imah. Didin hanya mengangguk pelan dan buru-buru
menuju tempat parkir.
Didin
menuliskan permohonan maafnya di selembar kertas. Setelah itu, Didin memetik
setangkai kembang sepatu yang sedang mekar di sekeliling halaman parkiran.
Didin menjepitkan kertas tadi dan ujung tangkai kembang sepatu di boncengan
sepeda Bu Imah.
“Maafkan
saya ya Bu Imah,” bisik Didin dengan suara parau. []
Adalah Nenek Mallomo, penasihat kerajaan
Sidenreng ratusan tahun yang lalu, yang kejujuran dan kecerdasannya telah
dikenal di setiap jengkal tanah kerajaan, tersohor hingga ke kerajaan tetangga.
Bertanyalah padanya, dia tak butuh tunduk berpikir untuk mencari jawaban.
Ketika dia yang bertanya, bersiaplah bertanya ulang demi menemukan jawabannya.
Dia pernah ditantang membuat tali dari debu, dan siapapun tak percaya jika
lelaki bertubuh kekar itu akan melakukannya dengan sempurna. Berbekal pelepah
daun pisang yang kering, dia mencariknya menjadi tiga bagian, mengepangnya,
lalu diangkatnya sarungnya dan kepangan pelepah pisang itu dia pelintir di
pahanya hingga membentuk sebuah tali.
“Tapi, La Pagala, tali itu terbuat dari pelepah
pisang, bukan dari debu.” ungkap Raja La Patiroi saat menyaksikan pertunjukan
itu.
Nenek Mallomo menunduk takzim di depan Raja La
Patiroi, lalu meletakkan tali di tanah, terakhir memantik korek berbahan bakar
kapuk. Tali itu kemudian terbakar dan menyisakan abu pembakaran yang berbentuk
tali. Melihat itu, Raja La Patiroi tersenyum puas dan menggelengkan pelan
kepalanya tanda salut.
“Saya tak salah pilih mengangkatmu sebagai
penasihat kerajaan, La Pagala.”
Lagi-lagi Nenek Mallomo menunduk takzim.
La Pagala adalah nama aslinya. Nenek Mallomo
hanyalah gelar dari kata Mallomo yang berarti memudahkan. Di tangannya semua
akan menjadi mudah. Setiap kalimatnya adalah petuah, gerak-geriknya adalah
teladan, gagasannya selalu jadi harapan. Pun kata ‘nenek’ adalah gelar untuk
orang yang dituakan sekaligus dihormati karena orang-orang Bugis tak mengenal
kata kakek. Mereka biasa menyebut nenek laki-laki dan nenek perempuan.
Kecerdasan dan kejujuran Nenek Mallomo sebagai
penasihat Raja La Patiroi membawa Kerajaan Sidenreng sebagai kerajaan dengan
hasil bumi yang melimpah tanpa hama, hewan ternak yang berbiak tanpa penyakit,
rakyat sejahtera tanpa kekurangan. Seluruh rakyat dan penghuni istana bersatu
membangun kerajaan dengan modal kerja keras dan kejujuran. Resopa
temmangingngi namalomo naletei pammase dewata[1].
Kerja keras tanpa putus asa akan mendatangkan rahmat dari Tuhan.
****
Kayu bitti itu tumbuh di sepetak kebun. Batang
kokohnya lurus menjulang. Setiap angin berembus, tangkainya pun kokoh tak
goyah. Hanya ranting yang melambai, dan daun-daunnya yang ikut menari bersama
angin. Beberapa rantingnya menjalar hingga ke atas petak sawah di sebelahnya.
Bitti memang kuat. Kualitasnya di atas akasia, di bawah ulin. Buahnya pahit
hingga tak ada hewan yang berburu untuk memperebutkannya. Saat buahnya yang
ukurannya sedikit lebih besar dibanding telur cecak, telah matang, akan berubah
warna menjadi hitam pekat. Buah-buah itu akan ditakdir terempas ke tanah. Jika
bukan karena kekuatannya, batang dan tangkainya pun akan ditakdirkan jadi debu
setelah menjadi kayu bakar. Saat musim bunga dan lebah mendatanginya, yakinlah
bahwa madu yang akan dihasilkannya berasa pahit. Kayu bitti manis karena
batangnya yang bisa menjadi tiang rumah panggung, dan tangkainya untuk perabot
dan peralatan pertanian.
Dan siapa nyana, kelak kayu itu akan membuat
seluruh penduduk negeri merana, bahkan seseorang harus dihukum mati karenanya.
****
Lelaki itu meneguk air dari tempat air
minumnya. Seperti halnya petani yang lain, tempat air minumnya terbuat dari
buah majah. Untuk membuat tempat air minum seperti itu, pangkal buah majah
terlebih dahulu dilubangi sediameter benggol kemudian isi buahnya dikeluarkan.
Majah yang telah bersih dan dilubangi, dikeringkan hingga benar-benar tak
menyisakan bau dari aroma buahnya. Penutupnya, cukuplah dengan meraut kayu
sebesar diameter lubang yang digunakan sebagai mulut tuang. Diameter rautan
kayu tersebut haruslah dengan suaian pas, tanpa toleransi, agar air dalam wadah
majah tak bisa merembes keluar. Setengah hari membajak sawah dengan bantuan
sepasang kerbaunya, membuat tegukan lelaki itu terdengar keras.
Beberapa tetes air minumnya tumpah dan membasahi baju tipisnya yang telah kuyup
oleh keringat.
Hari ini dia membajak sawah dengan garu,
setelah tiga hari yang lalu dia menggunakan tenggala untuk membalikkan
tanahnya. Sepasang kerbau yang dia pakai membajak, berdiri di tengah sawah,
masih dengan perlengkapan bajak yang terpasang di pundak. Sepasang kerbau itu
setia menunggu tuannya untuk melanjutkan pekerjaan. Hanya ekornya yang liar
mengempas ke kanan dan ke kiri untuk mengusir lalat dan kutu yang hinggap di
tubuhnya.
Lelaki itu kemudian mengambil batang rotan
sebesar ibu jari yang dijadikannya pecut, lalu kembali memandu kerbau bajaknya
untuk melanjutkan pekerjaannya. Hingga menjelang siang, tanah bajakannya baru
selesai seperempatnya. Dan baru tiga kali keliling setelah istirahat minum
tadi, tiba-tiba satu mata garunya patah.
“Sepertinya kalian harus istirahat lebih awal,”
ucapnya sambil melepas ajoa[2].
“Kalian makan yang banyak, ya!” lanjutnya sambil mengelus kepala kerbaunya
secara bergantian.
Lelaki itu kemudian kembali ke pematang. Bukan
untuk beristirahat, tapi untuk membuat mata garu demi mengganti yang telah
rusak. Saat matanya liar mencari pohon di pematang sawah untuk dijadikannya
mata garu, tiba-tiba dia melihat potongan tangkai bitti sebesar pergelangan
tangan orang dewasa. Kayu itu bersandar di batang bitti yang tumbuh di kebun
tetangga.
Lelaki itu menengadah ke atas, tepatnya di
ranting-ranting bitti. Tak didapatinya lagi tangkai yang menjulur ke sawahnya.
Tangkai yang menjulur ke sawahnya itu telah dipotong oleh pemiliknya dan
tangkai itu kini bersandar di batang bitti. Kebetulan saya butuh kayu untuk
mengganti mata garuku yang rusak. Batinnya sambil menjulurkan tangan ke
balik pagar kebun dan mengambil kayu itu. Tak cukup sejam, mata garu yang baru
telah siap dipakai.
Dan siapa nyana, kelak garu dari bitti itu akan
membuat seluruh penduduk negeri merana, bahkan seseorang harus dihukum mati
karenanya.
****
Daun-daun meranggas. Padi yang sebentar lagi
akan mengeluarkan bulir, kini menguning kering. Petak-petak sawah yang dulu
subur, kini kerontang dan retak-retak. Sungai kering. Sumur-sumur yang
kedalamannya telah ditambah pun, tetap tak menemukan mata air. Di mana-mana
tercium bau bangkai dari ternak yang mati kehausan dan kelaparan. Raja La
Patiroi gelisah. Ini yang pertama kalinya terjadi di wilayah kerajaannya.
“La Pagala, kamu tahu mengapa saya
memanggilmu?”
Nenek Mallomo mengangguk takzim.
“Tentang kemarau panjang ini, Puang[3]?
Saya pun sedih. Sangat sedih dengan penderitaan rakyat yang didera kemarau.”
Tatapan mereka beradu dan sebagai penasihat
kerajaan, Nenek Mallomo memilih mengalah dan menerbangkan tatapannya ke penjuru
saoraja[4]
yang lain. Apalagi tatapan Raja La Patiroi sangat menuntut sebuah solusi dan
sebagai orang yang bergelar Mallomo, dia harus bisa menemukan solusi yang
memudahkan.
“Puangku La Patiroi, izinkan saya
menemui rakyat. Jika saya tak bisa menemukan solusi, paling tidak saya bisa
tahu penyebab kemarau panjang ini.”
Nenek Mallomo mengakhiri kalimatnya dengan
menunduk takzim, melangkah mundur hingga tangga saoraja, lalu berbalik
menuruni tangga setinggi lima meter. Dia berjalan, terus berjalan, menyusuri
jalan besar yang menuju ke arah Kerajaan Soppeng di ujung selatan. Dalam setiap
ayunan langkahnya, dia terus mencari dan mencari solusi agar bisa keluar dari
kesulitan ini. Tapi adakah yang bisa memberi solusi untuk keluar dari
paceklik karena kemarau panjang? Nenek Mallomo meyakini bahwa kemarau ini
turun dari langit. Diturunkan oleh Puang Seuwae[5],
karenanya hanya Dialah yang bisa mengakhirinya.
Raja La Patiroi pernah memujinya saat dia bisa membuat
tali dari debu, bahkan sang raja pernah menepuk bahunya pertanda kagum
bercampur gembira ketika kerajaan bisa menjadi pemenang dalam perlombaan
lumbung padi, dan itu karena ide cerdas Nenek Mallomo. Saat itu kerajaan
tetangga menantang Kerajaan Sidenreng untuk adu jumlah padi. Tanpa berniat
menipu ataupun berbuat curang, Nenek Mallomo memerintahkan rakyat untuk
mengangkut semua padi yang ada di lumbung, yang ada di loteng-loteng rumah,
ataupun yang ada di kolong-kolong rumah. Semua padi dipanggul ke gunung batu
Allakkuang. Di sana padi disusun mengikuti bentuk gunung, hingga tampaklah padi
itu seperti gunung raksasa. Utusan kerajaan tetangga tak berani datang untuk
menghitung jumlah padi karena dalam perjalanan dia sudah melihat gunung padi
yang menjulang.
Tapi adakah solusi untuk mengatasi kemarau? Lagi-lagi
pertanyaan itu hadir menemani langkahnya. Pertanyaan yang tak berjawab hingga
langkahnya tiba di bawah sebatang beringin dan dia memilih istirahat di
bawahnya. Beringin itu tumbuh di pinggir jalan, dekat simpang tiga menuju
Kampung Buae yang masih wilayah kerajaan. Tanah di bawah beringin itu
kering kerontang. Matahari menyengat kulit ketika dia memilih istirahat di
sana. Dalam doa yang khusyu, berharap hanya pada Puang Seuwae, dia
mengentakkan kakinya di tanah kering di bawah beringin, tiba-tiba muncul mata
air sebesar lengan, lalu sebesar betis, bahkan sebesar batang pohon beringin di
atasnya. Air itu membentuk genangan, lalu serupa kubangan, dan terakhir menjadi
sumur. Orang-orang yang lewat dan menyaksikan ada air yang muncul di bawah
beringin, berlari dan berteriak ke arah Nenek Mallomo.
“Saya menamakan sumur ini, Sumur Citta. Airnya
memang tak bisa mengaliri sawah, tapi paling tidak kalian bisa mengambil air
minum di sini.”
Rakyat hanya bisa saling tatap. Antara heran
dan kagum dengan kehadiran Nenek Mallomo yang bisa membawa mata air.
****
Kemarau belum berakhir, padahal telah berbilang
tahun. Rakyat semakin sengsara. Beberapa lumbung padi milik rakyat telah
kosong. Tak ada tanaman yang bisa mengeluarkan pucuk daun apalagi bunga dan
buah. Hewan ternak pun sudah hampir punah, beberapa yang tersisa hanya
menyisakan tulang berbungkus kulit. Satu-satunya sumber mata air adalah sumur
Citta. Hanya air mata yang mengalir di mana-mana. Bahkan beberapa rakyat
meninggal karena keracunan singkong.
Saat kemarau panjang, tanaman yang bertahan
hidup hanyalah singkong beracun. Rakyat tetap nekat mengonsumsinya demi
melanjutkan hidup, meski nyawa taruhannya. Singkong beracun yang dapatkan di
hutan-hutan mereka olah dengan memarutnya, mencucinya, lalu mengeringkannya
hingga menjadi tepung tapioka. Jika mencuci atau mengeringkannya tidak
sempurna, racun yang ada pada singkong tersebut akan membahayakan. Sebenarnya,
tepung singkong serupa itu, setelah dikukus untuk dikonsumsi, rasanya seperti
ampas karena sarinya telah bersih bersama racun. Tapi bagaimana pun rasanya,
jika itu bisa mengenyangkan, demi bertahan hidup, rakyat tetap akan
mengonsumsinya.
“La Pagala, banyak rakyat yang sudah kehabisan
persediaan makanan. Pihak kerajaan harus mencari solusi untuk menyelamatkan
rakyat dari kelaparan.”
“Puangku La Patiroi, tak ada solusi yang
tepat kecuali menemukan penyebab kemarau panjang ini.”
“Tapi siapa yang bisa menghentikan kemarau?”
ungkap Raja La Patiroi bernada putus asa.
“Mohon maaf, Puang. Kita bukan ingin
menghentikan kemarau, itu mustahil. Kita hanya mencari penyebab kemarau panjang
ini. Ibarat penyakit, jika kita telah menemukan obatnya, penyakit itu akan
sembuh. Hujan turun, rakyat kembali bisa bertani.”
Saoraja dilalap sepi bermenit-menit. Entah pada detak
jantung yang keberapa, Nenek Mallomo kembali bersuara.
“Beberapa tahun lalu, kita kedatangan tamu,
Arung Matoa dari Kerajaan Wajo.”
“Saya pun masih mengingat itu, La Pagala. Tapi
apa hubungannya dengan kemarau panjang?”
“Saat itu Arung Matoa bertanya padaku tentang
suatu hal….”
Nenek Mallomo menghentikan kalimatnya demi
melihat ekspresi wajah Raja La Patiroi. Seperti yang ada di pikiran Nenek
Mallomo, raja pun teringat dengan Arung Matoa Wajo yang saat itu menanyakan
penyebab Kerajaan Sidenreng bisa subur, rakyat sejahtera, ternak berkembang
biak tanpa penyakit, bahkan benih bukan bibit unggul pun jika itu ditanam di
tanah Sidenreng, pasti akan tumbuh dengan baik.
“Saya masih ingat jawabanmu saat itu, La
Pagala. Di negeri kami, kejujuran dan prasangka baik pada orang lain adalah
keputusan tertinggi.”
“Benar, Puang! Itu berarti rakyat atau
bahkan ada di antara kita penghuni saoraja ini yang tidak jujur.”
“Tidak jujur?”
“Iya, Puang! Dan tidak jujur itu bukan
hanya berbohong. Mengambil barang orang lain tanpa minta izin, juga adalah
ketidakjujuran.”
“Lalu apa yang harus kita perbuat sekarang?”
“Pengawal kerajaan harus turun ke tengah-tengah
rakyat untuk mencari tahu siapa yang telah melakukan ketidakjujuran.”
“Jika pelakunya ditemukan…?” tanya Raja La
Patiroi mengakhiri kesangsiannya.
“Pelakunya harus dihukum mati. Dia telah
membuat rakyat sengsara selama bertahun-tahun.”
****
Pengawal kerajaan mendatangi seluruh kampung di
pelosok kerajaan untuk mengumumkan penyebab kemarau panjang sekaligus mencari
orang-orang yang pernah berbuat tidak jujur. Berhari-hari pengumuman itu
digaungkan, tak ada seorang pun yang mengaku telah berbuat tidak jujur. Semua
penduduk merasa tak pernah berbohong apalagi mencuri ataupun berlaku tak adil
pada orang lain. Bukan karena mereka takut dihukum tapi penduduk Kerajaan
Sidenreng telah menjadikan sikap jujur sebagai karakter. Apalagi, mereka tahu
akibatnya jika ada di antara mereka yang tidak jujur, selain hukuman mati, juga
bencana untuk negeri seperti kemarau panjang yang kini mengeringkan semua mata
air.
****
Malam-malam kemarau adalah dingin yang
menggigilkan. Di siang hari panas menyegat, di malam hari akan berganti menjadi
dingin yang menusuk hingga ke sumsum. Seorang lelaki dengan sarung kumal yang
menyelimuti tubuhnya, duduk di teras rumah panggungnya yang berdinding anyaman
bambu. Cahaya pelita yang biasa menemaninya, telah dipadamkannya dari tadi. Dia
tak ingin ada cahaya. Bahkan seandainya dia bisa membunuh semua jenis rayap
malam yang sejak tadi bernyanyi, dia telah memusnahkan semuanya agar malam tak
hanya identik dengan dingin dan gelap, tapi juga sepi.
Lelaki itu sejak tadi mengingat dan mengingat
lagi pengumuman yang tadi siang disampaikan oleh pengawal kerajaan di seluruh
pelosok kampung. Dia merasa tak pernah berbuat tidak jujur ataupun mencuri. Dia
sangat yakin bahwa hingga detik ini, dia tetap berpantang mencuri ataupun
berbohong. Tapi entah pada menit ke berapa lelaki itu merasa gelap semakin
pekat, nyanyian rayap malam pun tak terdengar lagi olehnya, bahkan dingin yang
hingga ke sumsum pun berganti menjadi gerah berkeringat.
Dia teringat dengan sebuah kejadian beberapa
tahun lalu ketika dia membajak sawah dan mata garunya patah. Mata garu itu lalu
diperbaikinya dengan menggunakan kayu yang diambilnya dari kebun tetangganya.
Dia merasa tak mencuri saat itu, karena tangkai kayu itu sebelumnya menjulur ke
sawahnya, meskipun akhirnya sang pemilik menebangnya dan menyandarkannya di
pohon. Dia baru sadar, tangkai kayu bitti yang diambilnya itu bersandar di
pohon berarti ada orang yang sengaja menyandarkannya dan akan kembali lagi
untuk mengambilnya.
“Saya telah mencuri!” ucap lelaki itu pada
dirinya sendiri.
“Sayalah yang menjadi penyebab kemarau panjang
ini tak kunjung berhenti.” lanjutnya lagi.
Tubuhnya menggigil di antara keringat dingin
yang sepertinya keluar dari setiap pori arinya. Dia diserang sesal. Tertekan
oleh rasa bersalah. Bertahun-tahun rakyat tak menikmati panen karena ulahnya.
Hewan ternak banyak yang mati karena kelakuannya. Wajarlah jika balasan
setimpal untuk sikap yang tidak jujur adalah hukuman mati. Tapi dia tak gentar
dengan kata hukuman mati. Lelaki itu akan ikhlas dengan hukuman apapun karena
perbuatannya telah menyengsarakan rakyat.
Besoknya ketika pengawal kerajaan datang lagi
untuk mencari orang yang pernah berlaku tidak jujur, dia tak berpikir dua kali
untuk mengakui semua perbuatannya.
“Saya telah mencuri. Mengambil sebatang kayu
yang disandarkan di pohon. Sayalah yang membawa kemarau panjang itu datang dan
tak kunjung berhenti.”
Kedua pengawal utusan istana menatap lelaki
yang baru saja menyampaikan pengakuannya itu.
“Bukankah kamu putra La Pagala?” tanya salah
seorang pengawal.
“Benar, saya anak dari La Pagala. Saya siap
menjalani hukuman apapun meskipun saya putra dari penasihat kerajaan Sidenreng
ini.”
Kedua pengawal kerajaan itu kemudian pergi.
Keduanya pulang membawa cemas karena mereka ragu seorang Nenek Mallomo bersedia
menghukum mati anaknya, dan jika itu tidak dilakukan, kemarau panjang semakin
tak berujung.
***
Raja La Patiroi duduk di singgasananya dengan
tatapan kosong jauh ke depan. Penyebab kemarau panjang itu telah ditemukan.
Selain laporan dari pengawal kerajaan, lelaki yang mencuri kayu pun telah
datang menghadap untuk memohon maaf dan menyatakan kesediannya diberi hukuman
yang setimpal.
“Dia harus dihukum mati, Puang!”
Semua orang terdiam mendengar kalimat untuk
sang raja. Kalimat itu keluar dari mulut Nenek Mallomo. Beberapa pengawal yang
berdiri di sisi kanan singgasana refleks saling tatap lalu memfokuskan lagi
tatapan ke depan. Raja La Patiroi yang mendengar kalimat itu, mengalihkan
tatapan kosongnya ke mata Nenek Mallomo yang sedikit pun tak membalas
tatapannya. Raja La Patiroi mencari air mata di mata teduh Nenek Mallomo yang
bijak. Tapi tidak setetes pun, bahkan tak membuatnya berkaca-kaca.
“Kamu tega, La Pagala?”
“Mohon maaf, Puangku La Patiroi. Bukan
persoalan tega atau tidak. Ini persoalan hukum adat. Ade’ temmakkeana’
temmakeappo[6].”
Saoraja ditelan sunyi. Tak ada suara kecuali
suara hati masing-masing. Seikhlas apapun Nenek Mallomo menjatuhkan hukuman
mati ke anaknya, dari balik dadanya tetaplah terdengar suara tangis yang tak
seorang pun bisa mendengarnya. Dia harus berkeputusan. Memutuskan melukai
dirinya sendiri karena jika itu tak dilakukannya, sama halnya dengan bunuh
diri. Anaknya telah membuat seluruh negeri menderita, bahkan seisi negeri akan
mati karenanya, jika dia tak dihukum mati.
“Tapi, La Pagala, anakmu memang mengaku mencuri
sebatang kayu untuk memperbaiki mata garunya, tapi menurut pengakuannya juga,
kayu yang dicurinya itu, sebelumnya adalah batang kayu yang menjulur ke tanah
miliknya. Apa itu bisa disebut mencuri?”
“Puangku La Patiroi, Sebelum pengakuannya
di Saoraja ini, dia juga telah menemuiku dan menjelaskan kejadiannya. Kesalahan
terbesarnya karena kayu yang diambilnya itu adalah batang kayu yang disandarkan
di pohon. Itu berarti, batang kayu itu ada pemiliknya. Bukan kayu yang
tergeletak.”
Raja La Patiroi terdiam. Tak bisa bersuara
hingga Nenek Mallomo mengambil langkah ke depannya, menunduk takzim, lalu
memilih melangkah mundur dari hadapannya hingga tangga Saoraja.
“Pengawal, siapkan pasukan kerajaan untuk
mengeksekusi hukuman mati untuk anak La Pagala!” titah raja La Patiroi saat
Nenek Mallomo telah menghilang dari depan singgasana.
“Iyye’[7],
Puang!”
****
Di bawah langit terik, di atas tanah Sidenreng
yang telah retak, lelaki itu berserah diri dalam pejaman mata. Dia tahu dirinya
akan dipancung entah di menit keberapa, tapi dalam pejaman matanya dia tak
membayangkan algojo kerajaan dengan alat pancungnya. Baginya, inilah takdirnya.
Tuhan telah menggariskan untuknya menjadi tumbal demi keselematan negeri.
Sekali pun, dia tak pernah terpikirkan mencuri, batang kayu yang diambilnya
benar-benar dianggapnya bisa dia miliki karena sebelumnya batang kayu itu
menjulur ke sawahnya. Tapi karena di mata Tuhan itu adalah dosa, dikirimlah
kemarau panjang itu untuk memberi teguran.
Keikhlasan menerima hukuman membuatnya hanya
tersentak sekali ketika pedang menyentuh kulit lehernya, hingga kepala lelaki
itu terpisah dari tubuh. Kepala itu seperti buah majah yang jatuh dari pohonnya
lalu tergeletak begitu saja. Darah mengalir deras membasahi tanah kering.
Sebelum darah mengering, angin datang membawa awan gelap. Langit cerah
tiba-tiba pekat berkilat. Guntur bergemuruh, lalu hujan deras turun menyatukan
semua retak-retak tanah. Kemarau panjang menemukan ujung. Rakyat berlari turun
ke sawah menyusuri pematang serupa berpesta dengan tarian hujan.
Tumbuhan menghijau kembali, ternak gemuk
beranak-pinak lagi. Kerajaan Sidenreng kembali sejahtera dan berkeadilan
seperti semula.
****
Ratusan tahun berlalu setelah kemarau panjang
itu berakhir. Kerajaan Sidenreng yang kini telah menjadi Kabupaten Sidenreng
Rappang, dikenal sebagai lumbung padi Sulawesi Selatan. Bahkan di Allakkuang,
kampung yang dikenal sebagai kampung Nenek Mallomo, masih terdapat sumur Citta
yang mata airnya tak pernah kering hingga kini. Nama anaknya yang telah
dikorbankan memang tak tercatat dalam lontara tapi petuah-petuah Nenek Mallomo
sebagai penasihat kerajaan tak bisa terhapus dari memori rakyat turun-temurun
meskipun semua lontara yang mencatatnya kelak telah punah.
Saking legendarisnya seorang Nenek Mallomo,
namanya kini diabadikan sebagai nama rumah sakit di kota kabupaten. Bahkan
beberapa warga beranggapan bahwa Nenek Mallomo sebenarnya adalah tomompo
atau orang yang tiba-tiba muncul di Kerajaan Sidenreng sebagai penggembala
kerbau karena tak ada seorang pun yang tahu asal-usulnya. Pernyataan bahwa
Nenek Mallomo adalah penggembala diperkuat oleh nama-nama kampung yang ada di
Sidenreng Rappang yakni, Lawa Tedong (kandang kerbau), Lainungan (tempat
meminumkan gembala), Amparita/Ampiretta (Gembala), dan Allakkuang (tempat
istirahat gembala). Namun dari manapun dan ke manapun silsilah keturunan Nenek
Mallomo bergaris, dia telah melegenda sebagai cendikia, sebagai penasihat
kerajaan yang saat itu berkedudukan sebagai hakim, dan kisahnya benar-benar
pernah ada.
****
[1] (Bugis) Kerja
keras tanpa kenal lelah akan mendatangkan rahmat Tuhan. (Kalimat Nenek Mallomo
yang paling terkenal bahkan tertulis dengan aksara Lontara di depan kantor
Bupati Sidenreng Rappang).
[6] (Bugis) Adat
tak mengenal anak dan cucu. Kalimat ini adalah salah satu kalimat Nenek Mallomo
yang melegenda hingga sekarang di Kabupaten Sidenreng Rappang.
Bertukar Tempat
Majalah Bobo No.51/XXXVI, 26 Maret 2009
Dina dan Dini adalah saudara kembar. Wajah mereka sangat mirip.
Model rambut mereka juga sama. Apalagi mereka sering memakai pakaian yang sama.
Walaupun begitu, sifat mereka agak berbeda. Dina agak pemalu dan pendiam. Ia
pintar di kelas. Sementara Dini lincah dan banyak bicara. Di kelas prestasinya
sedang-sedang saja.
Dini dan Dina bersekolah di tempat yang berbeda. Mama papa mereka
ingin mereka memiliki pengalaman dan teman yang berbeda. Mereka juga tak ingin
guru dan teman-teman di sekolah bingung membedakan Dina dan Dini.
Suatu malam ketika sedang belajar di kamar, tiba-tiba Dini berkata
pada Dina. “Eh, Na. Besok kita tukaran tempat yuk!”
“Tukaran tempat bagaimana maksudmu?” tanya Dina tak mengerti.
“Kamu nanti masuk ke sekolahku dan aku masuk sekolahmu. Kita
tukaran seragam dan tas sekolah. Aku yakin orang-orang tidak akan tahu. Aku
ingin merasakan bagaimana suasana belajar di sekolahmu.”
“Ah, takut ketahuan, Ni! Lagi pula aku tidak kenal teman-temanmu
dan guru-gurumu,” kata Dina panik.
“Tenang saja! Nanti aku kasih tahu, siapa nama teman-temanku di
kelas dan siapa guru-guruku. Kamu tenang saja. Pokoknya, pasti asyik, deh!”
Karena terus dibujuk saudaranya, akhirnya Dina setuju. Pagi itu,
Dini dan Dina buru-buru berangkat ke sekolah. Mereka tak mau rencana mereka
ketahuan Mama. Sesuai rencana yang telah disepakati, Dina berangkat ke sekolah
Dini. Dan begitu sebaliknya.
Ketika memasuki ruang kelas, Dina berpapasan dengan teman-teman
Dini. Mereka menyapanya. Dina membalas sapaan mereka. Tidak ada seorang pun
yang curiga. Ternyata teman-teman Dini berhasil dikecohnya. Dina duduk di
bangku yang biasa diduduki Dini.
“Ni, kamu sudah bikin PR, belum?” Tiba-tiba seorang anak perempuan
yang memakai pita merah bertanya. Dia pasti Riana, batin Dina.
“PR apa?” tanya Dina, karena ia memang tidak tahu. Dini tidak
memberitahu kalau ada PR.
“PR Matematika. Masak lupa?”
“Oh ya.” Dina buru-buru membuka tas dan memeriksa buku PR
matematika Dini. Ternyata Dini belum mengerjakan PR.
Huh, Dini rupanya ingin mengerjai aku. Dia minta aku menggantikan
tempatnya, karena dia belum mengerjakan PR. Untung Riana mengingatkannya. Dina
mulai jengkel pada Dini.
Terpaksa Dina mengerjakan PR Dini. Ketika bel tanda masuk berbunyi,
PR matematika itu sudah selesai dikerjakannya. Dina berharap, tidak ada lagi
kejadian yang bikin hatinya kesal. Dia juga berharap jam sekolah segera
berakhir. Ia ingin buru-buru marah pada Dini.
Akan tetapi, harapannya tidak terkabul. Pada jam pelajaran Bahasa
Indonesia, tiba-tiba Dina diminta maju ke depan oleh Pak Guru. Dengan agak
gugup dan bingung Dina melangkah ke muka kelas. Dia berdiri di hadapan
teman-temannya.
“Kemarin kan, kamu tidak membuat PR Bahasa Indonesia. Dan sebagai
hukuman, Bapak kemarin memberimu tugas membuat puisi. Apa sudah kamu bikin?
Sekarang, ayo bacakan puisi karya kamu itu!” ujar Pak Guru tegas.
Ya, ampun! Kok jadinya begini, gerutu Dina dalam hati.
Tiba-tiba Dina sadar, kalau Dini sebenarnya sedang mengerjai
dirinya. Dini sengaja mengajak bertukar tempat karena dia malas dan tidak mau
mengerjakan tugasnya. Untunglah Dina suka menulis puisi. Dengan mudah ia
menciptakan puisi dadakan.
Pulang dari sekolah, Dina tak bisa menahan diri lagi. Ia langsung
marah-marah pada Dini. Juga melaporkan perbuatan Dini kepada Mama.
Mama akhirnya menegur Dini. Walaupun begitu, Dina juga kena
teguran.
“Lo, Mama, kok, marah sama Dina juga? Dina kan sudah jadi korban
perbuatan Dini,” kata Dina membela diri.
“Kamu juga salah! Kalau kamu tidak menerima ajakan Dini, tentu
kejadian ini tak akan terjadi. Kalian telah bekerja sama melakukan kebohongan.
Ingat, berbohong itu bukan hanya merugikan orang lain, tapi juga diri sendiri.
Orang yang suka berbohong tidak akan dipercaya orang lain!” tegas Mama.
“Maafkan Dina, Ma. Dina janji tidak akan mau diajak berbohong
lagi!”
“Dan kamu Dini. Kalau ada kesulitan atau masalah, jangan dipendam
sendiri. Apalagi dibebankan pada orang lain. Itu namanya tidak bertanggung
jawab. Lebih baik berterus terang dan tak perlu malu untuk meminta tolong. Mengerti?”
ujar Mama kepada Dini.
Dini mengangguk. Ia merasa bersalah dan menyesal. Dia berjanji
tidak akan mengulangi perbuatan seperti ini lagi!
Pengamen
Bindeng
“Lihat nih aku dapat uang banyak!” kata Udin
beberapa saat sesudah turun dari bus kota. Rupanya dia baru aja mengamen. Uang
receh dan uang kertas di dalam bekas bungkus permen di genggamannya terlihat
penuh. Wajah anak itu berbinar senang.
“Wah, pasti kamu nyanyinya bagus banget sehingga penumpang kasih kamu uang banyak!” kata Genta, tukang semir sepatu, teman Udin.
Mereka selalu berkumpul di perempatan jalan
dekat terminal untuk beristirahat. Genta sehari harinya adalah penyemir sepatu
di warung warung sekitar terminal. Sedangkan Udin, Bambang dan Leman mengamen
sendiri sendiri..
“Begitulah!” kata Udin gembira sambil
menghitung uangnya. Genta terlihat senang juga melihat hasil yang didapat Udin,
Ibu Udin saat ini sedang sakit, dia perlu uang banyak untuk berobat karena itu
sudah seminggu ini Udin mulai ikut mengamen di dalam Bus.
“Padahal kamu ngamen nggak pakai alat musik ya, Din?” cetus Leman heran, “Terus kamu nyanyi cuma pakai tepuk tepuk tangan saja ya?”
“Padahal kamu ngamen nggak pakai alat musik ya, Din?” cetus Leman heran, “Terus kamu nyanyi cuma pakai tepuk tepuk tangan saja ya?”
Leman sendiri mengamen dengan menggunakan gitar
kecil pemberian mendiang kakeknya. Suara Leman bagus sekali dan ia sangat mahir
memainkan gitar kecil itu. Tetapi uang yang didapatnya tidak pernah sebanyak yang
didapat Udin setiap hari.
Mereka berempat adalah teman satu sekolah dan
rumah mereka berdekatan, ketika mereka tahu Ibu Udin sakit, mereka menganjurkan
Udin untuk ikut mengamen atau jadi penyemir sepatu di terminal. Udin menerima
ajakan teman temannya.
“Tuh Bambang datang, kok dia lesu amat…” tunjuk
Genta pada temannya yang terlihat baru turun dari Bus.
“Lesu,Bang?”
“Yaah, mungkin karena suaraku nggak bagus yaa jadi nggak banyak yang kasih aku uang, lagian katanya Bang Poltak kondektur PPD ada pengamen yang suaranya bindeng yang ngamen sebelum aku, penumpang semua kasihan sama dia…”
“Yaah, mungkin karena suaraku nggak bagus yaa jadi nggak banyak yang kasih aku uang, lagian katanya Bang Poltak kondektur PPD ada pengamen yang suaranya bindeng yang ngamen sebelum aku, penumpang semua kasihan sama dia…”
Genta dan teman temannya berpandangan,”Pengamen
Bindeng??”
Bambang mengangguk, “Sebetulnya sih bukan
ngamen, suaranya aja hampir nggak ada katanya…jadi orang kasihan sama dia…”
“Yang mana ya orangnya? Aku kok nggak pernah
lihat? Kalian pernah lihat?” tanya Udin. Genta dan Leman menggeleng. Tetapi
memang begitu banyak pengamen di terminal ini, tidak semua yang mereka kenal.
Genta berlari lari menyetop Bus Mayasaribakti
yang merapat di halte. Dia mau ke daerah Tebet, ke rumah Pakde Santoso yang mau
hajatan sunat Rio, sepupunya. Dia diminta datang menginap.
Ia duduk di kursi belakang, terhimpit himpit
oleh penuhnya penumpang. Genta sudah terbiasa turun naik Bus kalau kemana mana.
Meskipun baru berusia sepuluh tahun tapi dia tidak pernah takut pergi
sendirian.
Di halte berikutnya Bus terasa merapat. Genta
tidak bisa melihat keluar karena terhalang penumpang penumpang dewasa yang
berdiri.
Dari arah depan Bus kemudian terdengar
suara-suara aneh. Suara bindeng, seperti orang bisu yang berusaha mengeluarkan
suara. Antara sengau dan bindeng. Genta berusaha melongok ke arah suara itu
tapi tidak bisa.
“Kasihan ya, bindeng begitu masih berusaha
ngamen…” kata seorang Bapak yang berdiri dekat Genta.
“Ooh pengamen ya Pak…” ujar Genta mengangguk
ngangguk. Mungkin pengamen ini yang kemarin diceritakan Bambang. Dilihatnya
seusai pengamen itu menyanyikan lagu yang tidak jelas bunyinya, orang-orang
kelihatan mengeluarkan uang receh mereka untuk siap-siap diberikannya pada
pengamen bindeng itu.
Pengamen itu terdengar menggoyangkan kantong
uangnya yang sudah berisi uang receh. Genta juga sudah menyiapkan uang logam
seratus rupiah untuk diberikan pada pengamen itu.
“Te..i..ma.a..iih” terdengar suara pemngamen itu berusaha mengucapkan terimakasih pada penumpang yang memberinya uang.
“Te..i..ma.a..iih” terdengar suara pemngamen itu berusaha mengucapkan terimakasih pada penumpang yang memberinya uang.
Ketika pengamen itu menyeruak diantara rapatnya
penumpang di belakang, Genta kaget bukan main. Pengamen itu juga terlihat
sangat terkejut melihatnya.
“Udin…?” desis Genta terpana.
Udin yang mengenakan topi lusuh dan baju yang
sebagian sudah robek langsung bergegas menembus penumpang lalu melompat turun
dari pintu belakang ketika Bus merapat ke halte berikutnya.
Genta juga begegas turun di halte tersebut.
Genta juga begegas turun di halte tersebut.
“Din!!!” dia berlari mengejar Udin yang berusaha
menghindarinya di halte.
Ketika langkahnya sudah menjajari Udin, Genta
menarik lengan temannya ke pinggir dimana tidak begitu banyak orang di sana.
Udin menunduk malu.
“Jadi begitu cara kamu ngamen, Din?”tanya
Genta” Pantas orang banyak kasih kamu uang…”
Udin mengangguk, “Iya Gen,…soalnya aku nggak bisa nyanyi, nggak bisa main alat musik juga, jadi aku berpura pura jadi pengamen bindeng aja…”
Udin mengangguk, “Iya Gen,…soalnya aku nggak bisa nyanyi, nggak bisa main alat musik juga, jadi aku berpura pura jadi pengamen bindeng aja…”
“Tapi itu namanya menipu, Din…” ujar Genta
prihatin menyadari apa yang telah dilakukan Udin,
“Dan itu dosa. Kalau kamu nggak bisa nyanyi, nggak bisa main alat musik, kamu kan bisa nyemir kayak aku….asal Halal…”
“Dan itu dosa. Kalau kamu nggak bisa nyanyi, nggak bisa main alat musik, kamu kan bisa nyemir kayak aku….asal Halal…”
“Tapi aku perlu banyak uang untuk Ibu!” kata
Udin sengit.
“Tapi kan bisa dicari dengan cara yang Halal,
Din… Allah Maha Mengetahui kok. Kalau kamu sudah berusaha sebaik-baiknya,
dengan cara yang di ridhoi Allah, Allah pasti akan kasih kamu jalan… itu yang
dibilang Ustad Adam, inget nggak?” tukas Genta, “Kalau dengn cara menipu orang
seperti ini, Allah malah marah Din…”
Udin terdiam. Sebetulnya jauh di dalam hatinya
dia juga tidak ingin melakukan ini. Tetapi setiap kali teringat wajah pucat
Ibunya, ia jadi tidak perduli dengn jalan yang ditempuhnya.
“Sudah lah, Din… aku juga nggak mau memaksa kamu kok… Yang penting aku sudah ngingetin kamu… bahwa yang kamu tempuh ini salah… Sudah ya, aku mau melanjutkan perjalanan ke rumah Pakde ku…. ”kata Genta sambil bergegas meninggalkan Udin yang masih menunduk.
“Sudah lah, Din… aku juga nggak mau memaksa kamu kok… Yang penting aku sudah ngingetin kamu… bahwa yang kamu tempuh ini salah… Sudah ya, aku mau melanjutkan perjalanan ke rumah Pakde ku…. ”kata Genta sambil bergegas meninggalkan Udin yang masih menunduk.
“Gen!!” panggil Udin ketika Genta sudah agak
menjauh, “jangan bilang teman-teman yang lain ya… aku malu… Mulai besok aku boleh
ikut nyemir bareng kamu?”
Genta mengangguk pasti, “Tentu Din! Aku masih
punya kotak semir cadangan di rumah, kamu bisa pakai dulu…”
Seminggu kemudian ketika Genta dan teman
temannya sedang beristirahat di perempatan jalan seperti biasa, Genta mendengar
Bambang bicara pada Leman.
“Heran, kata Bang Poltak, pengamen bindeng itu
seminggu ini sudah nggak kelihatan ngamen lho, Man..”
Udin memandang Genta dengan pandangan
berterimakasih karena Genta tidak menceritakan apa yang diketahuinya pada teman
temannya
0 komentar:
Posting Komentar